“SOP itu dasarnya apa? Perda, Perwal, atau cuma instruksi internal? Dalam prinsip hukum, aturan tidak boleh bertentangan dengan hierarki hukum yang lebih tinggi,” ujarnya menegaskan.
Dialog Tertutup Tidak Efektif dalam Mewakili Rakyat
Aksi damai yang bertujuan sebagai bentuk perhatian terhadap kinerja awal Wali Kota, berubah arah ketika massa tak mendapat akses.
Mereka akhirnya mengalihkan lokasi aksi ke Gedung DPRD Kota Tasikmalaya.
Menurut Dede Sukmajaya, salah satu inisiator aksi, massa hanya ingin memberikan masukan agar pemerintahan berjalan lebih responsif dan terbuka.
“Kami tidak datang untuk memaksa atau mendikte. Tapi jika gerbang dikunci, siapa yang sebenarnya takut? Wali Kota semestinya hadir, bukan bersembunyi,” katanya.
Kritik: Viman Terlalu Hati-hati, Minim Komunikasi Publik
Wali Kota Viman Alfarizi menurut berbagai kalangan terlalu berhati-hati dalam mengambil kebijakan publik.
Meski baru menjabat, publik berharap keterbukaan menjadi prioritas utama.
Kritik mulai bermunculan karena masyarakat menilai Viman minim komunikasi dan terlalu fokus pada pencitraan pribadi ketimbang kinerja nyata.
“Kami lihat Viman lebih suka berlari pagi daripada menerima rakyatnya. Jangan sampai rakyat hanya dijadikan objek foto kampanye,” sindir Dede.
Ia juga mengingatkan bahwa keberanian kepala daerah mendapat ujian bukan saat kampanye, melainkan ketika harus mengambil keputusan dalam tekanan.
“Diskresi itu bukan pelanggaran kalau demi kepentingan rakyat. Jangan jadikan SOP sebagai tameng untuk menghindar,” tambahnya.
DPRD Harus Evaluasi, Pansus Bisa Jadi Pilihan Terakhir
Jika sikap tertutup ini terus berlanjut, sebagian masyarakat mengancam akan mendorong DPRD untuk mengambil langkah evaluasi formal terhadap kinerja kepala daerah.
Opsi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) mulai muncul di ruang publik.
“Pansus adalah hak DPRD dan bagian dari kontrol rakyat. Kalau Wali Kota tidak berubah, maka kita akan tuntut DPRD turun tangan,” ujar Dede.
Hingga berita tayang, belum ada tanggapan resmi dari pemkot Tasikmalaya.
Komentar