Krisis Mahasiswa dan Menara Gading Bernama Kampus

banner 468x60

Hari ini kita dapat menemukan contoh sederhana dari disorientasi dan degradasi nilai pemuda tersebut, salah satunya adalah ketika mahasiswa membentuk sebuah partai dan hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka adalah gelar karpet ke istana, berusaha menjadi bagian dari kekuasaan istana. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum intelektual muda pada 1928, di mana pada saat itu ketika para intelektual muda dan terpelajar membentuk organisasi atau partai, hal yang pertama kali dilakukan adalah diferensiasi posisi, menarik garis demarkasi dengan kekuasaan dan bersikap kritis terhadap kekuasaan untuk memihak rakyat.

Dalam konteks yang lebih kecil, di kampus-kampus kita dapat menemukan mahasiswa dan organisasi mahasiswa lebih bangga menjadi bagian kepanjangan tangan pihak kampus dan tunduk kepada kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa dibandingkan harus memperjuangkan mahasiswa.

banner 336x280

Mahasiswa yang digambarkan sebagai “young hero” pada saat negara sedang dalam masa-masa sulit justru sangat eksklusif, tidak memiliki sikap ideologis, sangat kompromis, pragmatis dan oportunis. Sebagian besar mahasiswa lupa akan tugas dan tujuan mereka menjadi mahasiswa. Mereka memiliki kecenderungan sebagai pemuda yang egois, manja, tidak memiliki sense of crisis dan sense of belonging terhadap berbagai persoalan maupun kondisi sosial. Berteriak lantang dalam berbagai demonstrasi mengatasnamakan rakyat tetapi dalam proses perjuangannya samasekali tidak terintegrasi secara langsung bersama-sama di tengah rakyat, tidak mengerti psikologis rakyat, bahkan mencium aroma keringat rakyatnya pun tidak. Mereka antipati terhadap rakyat miskin, merasa lebih berpendidikan, merasa lebih tinggi kastanya dibandingkan dengan rakyat miskin yang tidak bersekolah, merasa lebih eksklusif. Mereka hanya menjual kemiskinan yang dirasakan rakyat hanya untuk tuntutan kepentingan, eksistensi kelompok atau individu.

Melihat kondisi demikian kekuasaan memilih bersikap abai, karena kekuasaan tahu betul musuh paling besar dari kekuasaan adalah mahasiswa sebagai kaum muda terpelajar, karena itu mahasiswa dan kaum muda yang pertama kali harus ditumpulkan secara sistematis oleh rezim kurikulum pendidikan.

Salah satu contoh sederhana upaya pelemahan yang dilakukan melalui sistem pendidikan antara lain, pada saat ujian kita dihadapkan dengan metode jawaban pilihan ganda yang sudah disediakan ataupun melalui metode pencocokan yang sifatnya dogmatis.

Jikalaupun terdapat pertanyaan berbentuk essay, kebenaran jawabannya berada pada otoritas guru/dosen, bukan pada argumentasi siswa/mahasiswa itu sendiri, sedangkan daya kritis pemuda lahir melalui proses persilangan argumentasi dan analisa dialektis. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada koptasi sebagian besar kampus-kampus negeri sampai ke urusan teknisnya seperti pemilihan rektor.

Pemerintah perlahan mengubah pendidikan menjadi sebuah komoditas, bukan lagi menjadi sebuah hak warga negara seperti apa yang diamanatkan konstitusi.

Ruang-ruang kelas dikendalikan oleh pasar, siapa yang memiliki kemampuan finansial dialah yang dapat mengakses pendidikan sehingga yang hadir didalam ruang kelas bukan lagi logika kemanusiaan tetapi logika persaingan. Kampus menjelma menjadi sebuah menara gading yang memisahkan kaum intelektual dengan rakyat, merekonstruksi mindset mahasiswa melalui berbagai kebijakan kampus, salahsatunya melalui berbagai kegiatan wajib mahasiswa kampus yang hanya berorientasi pada profit dan seremonial bukan pada Nation And Character Building dan kebermanfaatan masyarakat seperti apa yang diamanatkan Tridharma perguruan tinggi.

Kemanusiaan bukan lagi menjadi arah perjuangan intelektual mahasiswa sekarang, ini yang membuat mahasiswa sekarang lebih mudah di adu domba hanya karena isu perbedaan golongan, identitas, suku, ras, agama dan hal-hal yang samasekali tidak substansial, padahal banyak sekali pekerjaan rumah bangsa ini yang harus dikerjakan bersama seperti perjuangan ekonomi, perjuangan sosial dan lain-lain.

2045 nanti Indonesia sebagai sebuah bangsa akan menggenapi usia kemerdekaannya menjadi 100 Tahun. Kita tidak ingin perayaan tersebut berubah menjadi perayaan kegagalan mahasiswa Indonesia, kita tidak ingin lagi di cap sebagai mahasiswa yang bermental Inlander. Kita ingin di 2045 nanti, bangsa kita merayakan 100 tahun Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka, sebuah bangsa yang memiliki pemuda yang mewarisi api perjuangan, gagasan dan pikiran besar para pemuda 1928 dengan cita-cita luhur tentang sebuah bangsa besar.

Sudah saatnya mahasiswa hari ini dengan berbagai kemudahan yang dimiliki harus mampu bangkit menghadapi dan memenangkan tantangan zaman, krisis mahasiswa harus dientaskan. Mahasiswa harus menjadi kaum terpelajar yang memiliki optimisme dalam melangkah dengan semangat kebhinekaan dan mampu membawa harapan besar untuk mengemban amanat penderitaan rakyat.

(Bung Mio/Founder Suluh Muda Studies Club)

banner 336x280