DiksiNasi, Ciamis – Setiap tahun, perayaan Hari Pers Nasional (HPN) terus menimbulkan polemik.
Sejak penetapannya melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985 pada masa Orde Baru, banyak kalangan menganggap HPN sebagai legitimasi terselubung bagi penggunaan anggaran negara demi kepentingan eksklusif Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Tak sedikit kritik yang muncul, menilai bahwa pemerintah terus menggelontorkan dana besar untuk perayaan ini tanpa mempertimbangkan organisasi pers lain yang juga bernaung di bawah Dewan Pers.
HPN dan Penggunaan Dana Negara yang Terus Berlanjut
Arief Ma’ruf, anggota Dewan Etik Ikatan Penulis dan Jurnalis (IPJI) Ciamis, menilai bahwa anggaran negara digunakan secara tidak proporsional hanya untuk kepentingan PWI.
“Setiap tahun, perayaan HPN mendapatkan kucuran dana dari pemerintah. Padahal, PWI hanyalah salah satu organisasi profesi jurnalis, bukan satu-satunya. Ini bentuk diskriminasi terhadap organisasi pers lain yang seharusnya memiliki hak yang sama,” ungkap Arief pada Minggu (09/02/2025).
Menurutnya, hal ini merupakan warisan Orde Baru yang tetap langgeng hingga era reformasi.
“Jika kita berbicara tentang demokrasi dan kebebasan pers, seharusnya penggunaan anggaran negara untuk perayaan HPN ini segera mendapat evaluasi. Jangan sampai negara terus membiayai perayaan ulang tahun satu organisasi saja,” tegasnya.
HPN: Dari Warisan Orde Baru hingga Eksklusivitas PWI
Penetapan HPN yang bertepatan dengan hari lahir PWI pada 9 Februari 1946 menjadi dasar kritik utama.
Sejarah mencatat bahwa pada era Orde Baru, PWI menjadi organisasi jurnalis tunggal yang direstui pemerintah, sementara organisasi lain ditekan dan dipinggirkan.
Keppres No. 5 Tahun 1985 semakin mengukuhkan posisi PWI, menjadikannya aktor dominan dalam dunia jurnalistik nasional.
Namun, pasca-reformasi, kebebasan pers mulai berkembang dan berbagai organisasi baru seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) bermunculan.
Meskipun demikian, dominasi PWI tetap kuat, salah satunya melalui eksklusivitas perayaan HPN yang terus memperoleh fasilitas dari negara.
Banyak kalangan menilai, alih-alih menjadi ajang perayaan, HPN 2025 hanya akan menjadi polemik yang memperburuk citra pers di Indonesia.
Dualisme PWI
Selama ini, HPN hanya menjadi ajang reuni para pengurus PWI, menghabiskan bantuan donasi dari negara dan BUMN serta sponsor kegiatan lainnya, serta disinyalir sebagai ajang korupsi uang rakyat.
Lebih lanjut, kontroversi semakin meruncing karena ada dua kubu yang mengaku sebagai pengurus PWI pusat pasca-kericuhan beberapa waktu lalu.
Kepengurusan PWI versi Zulmansyah Sekedang hasil Kongres Luar Biasa (KLB) dan kepengurusan PWI versi Hendry Ch Bangun yang sudah tidak memiliki keanggotaan karena Dewan Kehormatan PWI telah memecatnya.