DiksiNasi, Ciamis – Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), belum lama ini mengumumkan dua kebijakan yang langsung menyita perhatian publik.
Pertama, wacana pembinaan anak bermasalah di lingkungan militer.
Kedua, penerbitan Surat Edaran bernomor 51/PA.03/DISDIK yang menetapkan jam malam bagi pelajar.
Kedua kebijakan ini menyiratkan keinginan pemerintah untuk menertibkan generasi muda.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah cara-cara yang digunakan tepat sasaran dan sesuai dengan prinsip perlindungan anak?
Dari Pendidikan ke Represi?
Sejumlah pemerhati pendidikan dan aktivis hak anak menilai kebijakan ini sebagai bentuk pendekatan koersif yang tidak menyentuh akar persoalan.
Alih-alih memperbaiki sistem pendidikan dan membangun ruang aman bagi remaja, negara justru mengambil jalan pintas yang sarat nuansa kekuasaan.
“Pendekatan militer mungkin berhasil untuk disiplin prajurit, tapi tidak untuk anak-anak yang butuh bimbingan,” ujar Deni Wiranda, pengamat kebijakan publik dari Bandung.
Menurut Deni, jika anak-anak sudah dianggap sebagai ancaman yang perlu ‘diamankan’ oleh militer, maka negara sedang mengalami krisis empati.
PMII: Negara Harus Hadir sebagai Pendamping, Bukan Penindas
Suara penolakan paling lantang datang dari PMII Ciamis. Mereka menolak keras penggunaan barak militer sebagai tempat pembinaan anak.
Dalam pernyataan sikapnya, PMII menyebutkan bahwa pendekatan tersebut mengabaikan aspek psikologis dan hak-hak dasar anak.
“Negara tidak boleh hadir dengan seragam dan senjata, tetapi dengan buku, ruang bermain, dan pelukan hangat,” kata Farhan Mujahidin, Wakil Ketua Bidang Pendidikan PMII Ciamis. Sabtu, (31/05/2025).
PMII juga mempertanyakan logika pengambilan keputusan Pemerintah Kota Banjar yang lebih memilih Kodim Ciamis ketimbang fasilitas rehabilitasi yang ada di wilayahnya sendiri.
Jam Malam: Pencegahan atau Pembatasan?
Sementara itu, Surat Edaran jam malam bagi pelajar terbitan Disdik Jabar juga tak luput dari sorotan.
Kebijakan yang bertujuan menciptakan generasi “Panca Waluya Jawa Barat Istimewa” ini menuai anggapan hanya menjadi solusi instan tanpa menyentuh akar problematika sosial.
Muhammad Rifa’i, Ketua PMII Ciamis, menyatakan bahwa pembatasan waktu tidak serta-merta membuat pelajar menjadi lebih baik jika ruang tumbuh mereka tetap sempit.