Laporan TGPF dan Fakta-Fakta Kekerasan
Ketua KOPRI Universitas Galuh, Intan Nur Permatasari, membacakan poin-poin penting dari laporan TGPF yang dibentuk Presiden BJ Habibie.
“Ada 85 kasus kekerasan seksual yang terbagi menjadi empat kategori. Sebagian besar berupa pemerkosaan beramai-ramai di ruang publik,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa korban perempuan Tionghoa menjadi kambing hitam di tengah kemarahan sosial akibat krisis ekonomi.
“Komnas Perempuan masih berdiri hari ini sebagai bukti bahwa tetap membutuhkan pengawasan dan advokasi atas kekerasan seperti ini,” tegas Intan.
Ia juga mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo telah mengakui tragedi ini sebagai salah satu dari 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Kekerasan Sistemik di Tengah Runtuhnya Orde Baru
Ispa Siti Nurjanah, Ketua KOPRI Ma’arif Al-’Asy’ary, melihat tragedi rudapaksa sebagai akibat dari akumulasi ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Orde Baru yang otoriter.
Ia menggambarkan bagaimana kerusuhan 13–15 Mei 1998 menjadi arena kekerasan sistemik terhadap etnis Tionghoa.
“Pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran toko adalah bentuk pelampiasan kebencian yang terarah secara sadar kepada komunitas tertentu,” ujar Ispa.
Ia menilai hal ini tak bisa terlepas dari konteks ekonomi dan politik saat itu.
Refleksi Kritis untuk Generasi Muda
Diskusi ini bukan sekadar agenda tahunan, melainkan panggilan untuk membangun kesadaran sejarah yang lebih jujur dan kritis.
Para peserta diajak tidak hanya mengenang, tapi juga menginisiasi diskusi-diskusi kecil di lingkup komunitas mereka.
“Isu sejarah seperti rudapaksa Mei 1998 bukan hanya bahan bacaan, tapi ajakan untuk terus mempertanyakan dan membela kemanusiaan,” pungkas Mira Miranti.