“Saya baru sadar setelah enam bulan bahwa seharusnya mendapatkan router ONT 5GHz saat upgrade,” ujarnya.
Kekecewaan memuncak saat pada 1 Juli 2025, akses internetnya tiba-tiba terputus tanpa pemberitahuan.
Saat menghubungi call center, jawabannya justru menyebut adanya kerusakan kabel optik dan menyarankan registrasi ulang, seolah kesalahan administratif berada di tangan pelanggan.
Negara Absen dalam Perang Harga dan Layanan
Kasus Harry bukan satu-satunya.
Banyak pelanggan ISP mengeluhkan kualitas layanan di tengah maraknya promo internet murah berkecepatan tinggi.
Saya sudah berhenti, perangkat saya kembalikan langsung ke kantor, tagihan terakhir saya bayar, terus sudah tidak aktif Tiba2 skrg ada wa tagihan…
Persaingan harga antar-ISP menciptakan ilusi kebebasan digital, namun kenyataannya justru menempatkan konsumen sebagai korban eksperimen bisnis.
Ketiadaan regulasi yang ketat menjadikan Undang-Undang dan Peraturan Menteri seperti Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2021 atau Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2021 hanya formalitas.
Padahal, Pasal 294 ayat 5 dalam PP Nomor 5 Tahun 2021 dan Pasal 44 dalam PP Nomor 46 Tahun 2021 seharusnya cukup sebagai dasar perlindungan konsumen dalam sektor telekomunikasi.
Keadilan Digital Perlu Diperjuangkan
Tanpa pengawasan dan sanksi tegas, layanan internet hanya akan menjadi ajang eksploitasi pasar.
Internet sebagai hak dasar rakyat tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke tangan pasar tanpa kontrol negara.
Ironisnya, konsumen lama malah sering dianaktirikan, sementara promosi besar-besaran gencar ditujukan kepada pelanggan baru.
Inilah bentuk ketimpangan digital dalam dunia yang serba terhubung.
Jika negara tidak segera turun tangan melalui penguatan kebijakan dan pengawasan, maka bukan mustahil hak digital rakyat akan terus dikorbankan demi kepentingan kapitalisme digital.