DiksinasiNews.co.id, Jakarta – Bolehkah PNS, Honorer, atau anggota Polisi nyambi jadi wartawan? Mungkin pertanyaan tersebut belakangan ini mencuat di benak publik, setelah kejadian menghebohkan ada seorang Polisi nyambi jadi wartawan di Kabupaten Blora Jawa Tengah (Jateng) hingga belasan tahun.
Kisah mengejutkan mengenai Iptu Umbaran Wibowo seorang wartawan yang telah berkiprah selama 14 tahun, yang kemudian tiba-tiba dilantik menjadi Kapolsek Kradenan. Olehnya publik dibuat geger hingga menuai pro-kontra dari polisi nyambi jadi wartawan ini.
Umbaran Wibowo merupakan kontributor TVRI. Namanya pun tercatat di Dewan Pers sebagai pemilik sertifikasi uji kompetensi wartawan (UKW) Madya yang dikeluarkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Entah atas dasar apa Organisasi Profesi yang cukup dikenal bermitera baik dangan plat merah ini bisa sampai meloloskan Umbaran hingga mendapatkan UKW Madya.
Latar belakang Umbaran sebenarnya adalah seorang anggota Polisi. Sebelumnya ia bertugas sebagai Kanit Intel Polres Blora pada 2021.
Umbaran Wibowo mungkin hanya salah satu dari sekian banyak PNS, Honorer atau anggota Polisi nyambi jadi wartawan. Di beberapa daerah lainnya, sebetulnya banyak juga yang melakukan hal yang sama dilakukan olehnya.
“Apabila Polisi atau PNS merangkap Wartawan, Analoginya sudah jelas yang bersangkutan tidak Independen (tidak netral) lagi, kalau tidak Independen lagi tentu beritanya tidak akurat, bila berita tidak akurat tentu tidak berimbang lagi. Kalau berita tidak berimbang sudah barang tentu berpotensi merugikan orang lain,” jelas Rocky Gerung seorang pengamat politik dan kebijakan dalam sebuah unggahan di salah satu kanal Youtube, Kamis (15/12/2022).
Lebih lanjut Rocky Gerung menyayangkan bahwa di era demokrari cara-cara tersebut masih dilakukan. Pasalnya pers menjadi salah satu pilar penting berdirinya negara demokrasi.
Kehadiran intel di lingkungan pers juga yang kemudian dilantik sebagai Kapolsek juga malah bisa menimbulkan kecurigaan.
“Mana mungkin seorang abdi negara seperti Polisi atau PNS berani menyoroti atasannya, justru yang muncul hanya berita-berita yang bernuansa “Asal Bapak Senang” (ABS) Yang pada akhirnya muncul lagi istilah baru dengan sebutan “Wartawan peliharaan” dan dengan sengaja atau tidak menabrak Kode Etik Jurnalistik sebagai rambu-rambu Pers,” papar Rocky.
“Jadi mungkin sekarang para wartawan curiga jangan-janagn pemimpin redaksinya adalah intel, sehingga timbul ketidakpercayaan pada institusi negara,” sambung Rocky.
Masuknya intelijen di tubuh pers menurut Rocky Gerung menodai demokrasi dalam konteks kemerdekaan intitusi untuk mengatur dirinya sendiri.
“Apalah pers, pers harus mengatur dirinya sendiri bukannya diintai atau diintip,” tambahnya lagi.
Aspek hukum dan etika
Sejak seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) resmi diangkat menjadi PNS, maka kepadanya terikat peraturan yang memuat kewajiban dan larangan yang disertai hukuman disiplin. Salah satu peraturan yang mengikat PNS adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Selain diatur dalam PP, juga tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Sebagaimana dalam Pasal 4 angka 6 PP Nomor 53 Tahun 2010 tersebut dijelaskan, setiap PNS dilarang: melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam
Polemik Iptu Umbaran Wibowo, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai tindak kepolisian menempatkan Umbaran Wibowo, seorang polisi yang menyamar menjadi kontributor TVRI di Jawa Tengah menyalahi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
AJI menyayangkan tindakan polisi dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pers Indonesia.
Ketua Advokasi Nasional AJI Erick Tanjung mengatakan Pasal 6 UU Pers menyebutkan, pers nasional memiliki peranan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
“Kepolisian jelas telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar,” kata Erick Tanjung, dalam keterangan tertulis, Kamis (15/12/2022).
Pers memiliki imunitas dan hak atas kemerdekaan dalam melakukan kerja-kerjanya. Dengan menyusupkan polisi pada media, Polri telah mengabaikan hak atas kemerdekaan pers.
Penyusupan ini, kata Erick juga bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
“Dalam kasus ini, Iptu Umbaran dan Polri telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi jurnalis,” terang Erick.
Komentar