Part 163: Menyembelih Sifat Hewan dalam Diri di Idul Adha

Suara takbir menggema, namun ada kepedihan dan rasa nelangsa yang mengiringinya.

banner 468x60

Sekelumit Cerita Tentang Idul Adha

Sambil menyeruput kopi khas Gunung Sawal, Mama Rohel melanjutkan cerita tentang Idul Adha.

Kebetulan pengajian sedang libur, dan hanya Dodo yang tidak pulang kampung.

“Iduladha bukan sekadar pesta makan daging. Ada makna tersembunyi yang harus kita pahami, yaitu bahwa ritual penyembelihan hewan sejatinya merupakan simbol penyembelihan sifat kebinatangan dalam diri,” jelas Mama Rohel.

Dodo menimpali penjelasan itu dengan raut penasaran.

Baginya, ini bukan kurban biasa.

“Mama, bukankah kurban memang hari raya untuk berpesta daging? Ini kesempatan bagi kaum fakir miskin menikmati daging agar kebutuhan gizinya terpenuhi,” kata Dodo.

Mama Rohel menjawab dengan nada santai.

Ia tahu Dodo baru sampai pada pemahaman tingkat syariat.

“Itu kurban biasa, Do. Secara tarekat, ritual penyembelihan itu adalah perjalanan ruhani. Ada beberapa sifat kebinatangan yang harus kita sembelih, di antaranya karakter tikus, anjing, serigala, dan babi,” jelasnya.

Dodo mengernyitkan dahi.

Baginya, asal sudah membuat sate, berarti tugas kurban sudah selesai.

“Wah, Mama. Itu terlalu rumit bagi generasi sekarang. Jadi, kalau kita belum bisa menghilangkan karakter kebinatangan, kita dianggap belum berkurban, ya?” tanya Dodo.

“Kalau kita masih senang memakan hak orang lain dan mengkorupsi dana, itu perilaku tikus, Do. Meskipun sudah kaya, dia tetap ingin memangsa hak orang lain. Nah, itu yang dilarang,” jawab Mama Rohel.

Tentu masih ada karakter hewan lain, seperti serigala dan babi.

Dunia binatang ini benar-benar bisa merusak kemuliaan kita sebagai manusia.

“Keikhlasan dalam meninggalkan sifat kebinatangan itulah inti dari ibadah kurban. Jangan sampai berkurban hanya berhenti pada menyembelih hewan, lalu selesai tanpa ada pemaknaan,” ujar Mama Rohel menutup obrolan pagi itu. Jumat, 6 Juni 2025.

banner 336x280