Menggali Kekuatan Budaya dalam Dakwah Islam: Dari Tradisi ke Transformasi

Menjembatani Budaya dan Dakwah: Strategi Ortodok PPO Memenangkan Hati Generasi Z

banner 468x60

DiksiNasi, Ciamis — Di tengah gesekan antara modernitas dan nilai-nilai lama, Persatean Pesantren Ortodok (PPO) hadir dengan pendekatan yang mengejutkan: merangkul budaya sebagai jalan dakwah.

Upaya ini tertuang dalam perhelatan Talkshow Ortodok bertema “Refleksi Budaya dalam Konteks Dakwah Islam” yang berlangsung di Lesehan Karang Gedang, Ciamis. Sabtu malam, (24/05/2025).

Acara yang awalnya tampak formal itu berubah menjadi forum lintas generasi.

Di antara tumpukan tikar dan gelas teh hangat, muncul gagasan-gagasan segar tentang bagaimana Islam bisa tetap hidup di tengah budaya yang terus berubah.

Salah satu yang disorot adalah keberadaan Kampung Budaya Cisontrol, sebuah ruang kolaborasi yang digagas PPO sebagai laboratorium sosial dan dakwah berbasis tradisi.

“Kita tidak sedang mempertentangkan budaya dengan Islam. Budaya itu wadah, Islam itu ruhnya,” kata Mama Rohel, tokoh kharismatik sekaligus penggagas utama pendekatan kultural dalam dakwah PPO.

Islam Tak Lahir dalam Kekosongan Budaya

Menurut Mama Rohel, sejarah Islam justru menunjukkan bahwa banyak ajarannya tumbuh dari pemurnian tradisi yang sudah lebih dahulu hidup di masyarakat Arab.

“Ritual haji seperti lempar jumrah, lari antara Safa dan Marwah—itu awalnya budaya sebelum menjadi syariat,” jelasnya.

Ia menyebut bahwa penerimaan ajaran Islam di Tatar Sunda pun tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan budaya lokal.

“Bahasa Arab Al-Qur’an bersentuhan dengan bahasa Sunda kuno, dan ternyata ada kesamaan makna. Di situlah letak pintu dakwah kita,” ujarnya.

Cisontrol: Dari Warisan Jadi Inovasi

Dalam forum tersebut, Haji Duleh, seorang ajengan yang juga terkenal sebagai penggerak inovasi di PPO, mengungkapkan bahwa Dakwah Islami, bukan hanya tempat nostalgia tradisi, tetapi juga ruang strategis bagi anak muda untuk mengolah nilai warisan menjadi kekuatan ekonomi.

“Kita sedang siapkan pekan raya budaya. Anak-anak muda bisa tampil dengan produk tradisional versi mereka, yang dibungkus secara modern tapi tetap membawa nilai dakwah,” ujarnya.

Dakwha Islami, kata Duleh, juga akan menjadi panggung bagi kolaborasi kreatif: dari pertunjukan musik bernuansa Islami, konten video dakwah ala TikTok, hingga diskusi terbuka tentang agama yang merangkul, bukan menghakimi.

“Islam itu mengajak, bukan memukul. Bukan mencaci maki, apalagi mengkafirkan,” tegasnya. “Dakwah harus menyentuh, bukan menghakimi.”

banner 336x280