Di Pendopo Tegal Bentar, pagi itu, berkumpul para pengamat politik dan ekonomi.
Hadir Mang Endin Jayaningrat, sang akademisi kritis, dan Mang Koes, kritikus politik lokal.
Sambil menyeruput kopi khas Gunung Sawal, Mama Rohel membuka percakapan.
“Duh, reuwas. Manawi aya naon, Mang Endin, pagi-pagi sudah di Tegal Bentar? Apakah ada kabar dari Jakarta yang bisa menenangkan rakyat Galuh?” tanya Mama Rohel.
Mang Endin menarik napas dalam-dalam.
Ia juga adalah orator ulung semasa mahasiswa.
Hatinya miris melihat bangsa ini makin jauh dari tujuan proklamasi.
“Iya, Mama. Sejatinya bukan Pak Bowo yang kuat dan sakti, meski didukung mayoritas rakyat. Pendekar sejati adalah Pakde Joko. Dia pemimpin Astina yang punya seribu akal. Malamnya berpidato menyindir Pak Bowo, siangnya ribuan mahasiswa unjuk rasa menghujat Pak Bowo,” ujar Mang Endin.
“Jadi, bagaimana menurut Mama? Apakah ini tanda-tanda akhir kejayaan bangsa ini?” tanya Mang Endin.
Dengan napas berat, Mama Rohel menjawab:
“Hancurnya kerajaan dan kesultanan di Nusantara bermula dari perang saudara dalam perebutan kekuasaan. Keturunan raja dan sultan saling bunuh. Stabilitas negeri pun tak bisa dipertahankan. Inilah sebab Sultan Kanoman Cirebon, Sultan Nurussamawat, memberikan gagasan kepada muridnya, Soekarno, untuk mendirikan sistem negara republik.”
Sambil menyeruput kopi, Mama Rohel melanjutkan ceritanya:
“Kala itu, Mang Endin, ada 200 raja dan sultan se-Nusantara yang iuran menyumbangkan kekayaan berupa emas batangan untuk mendukung berdirinya Indonesia. Hal ini tercatat dalam perjanjian Linggarjati. Saat itu, tak ada nama kakek moyang Pakde Joko yang tercatat sebagai pejuang kemerdekaan.”
Mang Endin kembali menyela:
“Jadi, apakah akan terjadi pengulangan sejarah jika lima tahun mendatang para pemimpin tidak cepat menyadari hal ini?”
Mama Rohel kemudian menjawab:
“Peradaban berganti setiap 100 tahun. Kini, usia Indonesia menjelang 100 tahun. Jika mengacu pada perjanjian Linggarjati, usia Indonesia dipatok 120 tahun. Boleh jadi, kini saatnya peradaban keraton Nusantara menggantikan kepemimpinan bangsa. Mereka pikir anak cucu sultan tidak memikirkan tanah warisan leluhurnya, sehingga mereka seenaknya mengelola bangsa ini.”
Perbincangan pun kian menghangat.
Namun, diskusi pun harus berakhir karena mata-mata telik sandi mulai memantau.
Petugas telik sandi itu mengira ada grup band Sukatani yang keras menyanyikan kritik terhadap pasukan baju coklat harimau.
Komentar