DiksiNasi, Cikarohel – Seorang kakek tua berambut gondrong menyambut Mama Rohel dengan senyuman khasnya.
Dialah tetua adat Bojonggaluh yang telah menghabiskan hidupnya menjaga tradisi Misalin.
Orang-orang memanggilnya Abah Latif.
Ratusan purnama berlalu silih berganti, tetapi Bojonggaluh Salawe tetap asri dan abadi.
Tangan dingin Abah Latif menjaga kampung Bojonggaluh Salawe dari kepunahan.
“Wilujeng sumping, Mama Rohel. Ini Kampung Salawe, bukan sekadar kampung biasa. Di sini, setiap Muslim harus melakukan pertobatan. Setiap dosa tercatat di batu server Citanduy. Batu-batu itu akan memberikan data dosa,” ujar Abah Latif membuka obrolan.
Mama Rohel terpana mendengar penjelasan itu.
Pikirannya melayang ke India, mengingat sebuah tradisi pertobatan di sana.
Orang India memanfaatkan Sungai Gangga untuk ritual membuang dosa.
Abah Latif dan Mama Rohel bercengkerama hangat, seperti biasa sambil menyeruput kopi dan mengisap cerutu.
“Mama, saleresna tobat itu bisa kapan saja. Namun, kami menyampaikan ajaran pertobatan dengan simbolisme dan adat istiadat agar lebih mudah mendapat pemahaman. Kami melaksanakannya setiap kali menyambut bulan Ramadan,” ujar Abah Latif.
Malam semakin larut.
Cahaya damar dari obor mulai menyala.
Saatnya prosesi Ngadamar dimulai.
Abah Latif memimpin tawasul dan doa-doa.
Sementara itu, Mama Rohel yang penasaran ingin merasakan aura Sungai Citanduy dengan cita rasa Sungai Gangga memilih berendam.
Mama Rohel menembus dimensi mistik Jumat Kliwon.
Ia memasuki lorong perjalanan tradisi pertobatan di Bojonggaluh Salawe.
Beberapa santri Pesantren Tegal Bentar, menemani Mama Rohel berendam di derasnya air Sungai Citanduy.
“Niat ingsun buang kokotor, mugia ditampi tobat ingsun, Gusti,” ucap Mama Rohel pelan sambil menenggelamkan tubuhnya.
Komentar