Sejarah Reog
Syamsul dan Dodo, dua santri senior, memilih diam dan hanya menyimak.
Mang Dayat, seorang penggiat budaya yang turut hadir, terlihat tergelitik oleh pernyataan Ajengan Duleh.
“Punten, Mama, izinkan saya berpendapat. Sejarah Reog bermula dari seni Kerajaan Galuh yang, pada masa awal penyebaran Islam, digunakan sebagai media dakwah. Tidak ada unsur kemusyrikan. Di tangan para waliyullah, seni Reog justru menjadi budaya Islami,” kata Mang Dayat.
Perbincangan semakin panas.
Ajengan Duleh tetap tidak sepakat.
Mama Rohel pun berusaha memilih jalan tengah.
Namun, Ajengan Duleh tiba-tiba menggebrak meja.
“Braaaak! Pokoknya Pasanggiri Reog harus berhenti!” seru Ajengan Duleh dengan nada tinggi. Suasana mendadak tegang.
“Tidak bisa, Ajengan! Pasanggiri Reog justru menjadi salah satu cara syiar. Jika memang bidah yang merusak agama, tentu tidak akan menjadi media dakwah,” balas Mang Dayat dengan suara lantang.
Peran Reog dalam Penyebaran Islam
Mama Rohel segera melerai.
Ia juga menilai perdebatan tidak akan membawa kemaslahatan.
“Perdebatan ini hanya akan membingungkan umat. Sesuai kaidah ushul fiqh, al-‘adah muhakkamah—adat istiadat dapat menjadi hukum selama membawa kemaslahatan. Reog sejak ratusan tahun berperan dalam penyebaran Islam di Galuh. Karena itu, kita harus merawat dan melestarikannya untuk generasi mendatang. Budaya ini tidak boleh hilang dari bumi Galuh,” tegas Mama Rohel mengakhiri perdebatan.
Hujan mulai turun membasahi Kampung Cikarohel.
Ajengan Duleh memilih pulang untuk mengurus kolam ikannya.
Sementara itu, Mang Dayat tersenyum puas karena Reog tetap hidup di Pesantren Tegal Bentar.