DiksiNasi, Ciamis – Jika negara menggelontorkan puluhan triliun untuk memberi makan anak-anak, maka makanan yang disajikan bukan sekadar untuk mengenyangkan.
Ia harus menyehatkan.
Ia harus mencerdaskan.
Dan yang paling penting: ia harus adil bagi siapa pun yang terlibat dalam rantai penyediaannya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Badan Gizi Nasional (BGN) adalah inisiatif monumental.
Namun, dalam praktiknya, program ini berpotensi menjelma menjadi proyek karitatif yang hampa makna bila pengawasan masyarakat dan ketegasan aturan tidak ditegakkan.
Petani dan Pengusaha Lokal Jangan Hanya Jadi Penonton
Saya ingin menyatakan secara tegas—tidak ada gunanya negara memproduksi makanan massal bagi jutaan siswa jika bahan bakunya tetap diborong dari pemasok besar nasional yang mengabaikan petani kecil dan UMKM lokal.
Ini pengkhianatan terhadap semangat pemberdayaan dan keadilan sosial.
Petunjuk teknis MBG 2025 sudah jelas menyatakan bahwa bahan pangan bisa dibeli dari koperasi desa, BUMDes, atau petani lokal.
Tapi dalam pelaksanaannya, banyak dapur SPPG masih bergantung pada pemasok lama yang itu-itu saja.
“Ini bukan revolusi kalau petani kita tetap jadi buruh di ladangnya sendiri.”
Lebih jauh, saya menegaskan: dapur MBG di tiap daerah wajib menjadikan petani, peternak, nelayan, dan UMKM sebagai mitra utama.
Jangan ada satu pun dapur yang membanggakan efisiensi sambil mengabaikan petani sekitarnya.
Jangan jadikan program gizi anak sebagai mesin penghisap ekonomi desa.
Jangan Campakkan Gizi Anak Demi Laporan yang Cepat Beres
Saya mendapati laporan-laporan menyedihkan: makan siang siswa diganti dengan susu kotak dan roti manis kemasan.
Itu jelas pelanggaran berat terhadap juklak dan juknis MBG.
Alih-alih menyehatkan, menu semacam ini justru mengundang diabetes dan masalah gigi sejak dini.
Pihak dapur, khususnya tenaga gizi, tidak boleh menganggap enteng pengganti menu.
“Menu MBG bukan urusan logistik, ini urusan tumbuh kembang anak.”
Baca Juga
Setiap kalori yang masuk ke tubuh anak adalah bagian dari masa depan bangsa.
Apakah kita tega menukar nasi lauk bergizi dengan camilan murah berlabel lucu?
Saya tegaskan: tidak boleh ada tawar-menawar di meja dapur.
Tidak boleh ada kompromi soal mutu.
Kalau tidak mampu menyajikan makanan yang sesuai standar AKG (Angka Kecukupan Gizi) harian, maka lebih baik mundur sebagai pelaksana.
Komentar