DiksiNasi, Ciamis – Setiap warga negara Indonesia berhak bermimpi—tentang pendidikan yang layak, pekerjaan yang pasti, kehidupan yang sejahtera.
Namun, mimpi itu kerap runtuh saat berhadapan dengan kenyataan sosial yang keras.
Di negeri yang berlandaskan Pancasila, banyak individu justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan struktural.
“Namun, tak jarang mimpi tersebut gagal terwujud tatkala dia terbangun dan sadar dengan kenyataan yang dia hadapi.”
Realitas pahit itu memaksa masyarakat untuk terbangun dari mimpi idealis, lalu menghadapi fakta bahwa lapangan kerja kian sempit, pendidikan makin mahal, dan kapitalisme menggiring hidup ke jurang ketergantungan.
Lapangan Kerja yang Menyusut, Bukan Menumbuh
Setiap tahun, jutaan lulusan sekolah dan perguruan tinggi masuk ke pasar kerja.
Namun, peluang kerja tak tumbuh secepat pertambahan angkatan kerja.
Akibatnya, pengangguran menjadi momok rutin yang menghantui anak muda.
Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, sektor industri malah menyusut atau mengutamakan sistem outsourcing yang menekan upah dan hak buruh.
Para pencari kerja harus bersaing ketat, bahkan untuk posisi dengan gaji yang jauh dari layak.
Kemiskinan yang Menjadi Menu Harian
Kemiskinan bukan lagi isu pinggiran.
Ia telah menjadi realitas harian bagi jutaan keluarga.
Bekerja keras tidak selalu menjamin keluar dari kemiskinan.
Harga kebutuhan pokok terus melonjak, sementara pendapatan tetap stagnan.
“Mereka akan berlaku adil dan memiliki adab.”
Sayangnya, itu hanya berlaku dalam narasi.