DiksiNasi, Ciamis – Fenomena pencalonan tunggal dalam Pilkada kian marak dalam beberapa tahun terakhir.
Dari hanya tiga pasangan calon tunggal pada Pilkada 2015, jumlah ini meningkat menjadi 25 daerah pada Pilkada 2020 .
Salah satu faktor kunci yang mendorong fenomena ini adalah dominasi satu partai politik di daerah-daerah tertentu yang secara geografis kecil dan homogen secara demografis .
Partai kecil sering kali lebih memilih berkoalisi mendukung satu calon yang memiliki peluang menang lebih tinggi, daripada mengusung calon sendiri yang berisiko kalah.
Pengesahan UU dan Kotak Kosong
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 100/PUUXIII/2015 menegaskan bahwa Pilkada tetap dapat dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon.
Pemilihan dilakukan dengan memberikan pilihan kepada masyarakat antara “setuju” atau “tidak setuju” terhadap calon tunggal .
Kemudian, munculnya kotak kosong dalam Pilkada menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak mendukung calon tunggal yang muncul.
Eks Ketua KPU Tarakan dan Komisioner KPU Kaltara periode 2019-2024, Teguh Dwi Subagyo, menjelaskan bahwa munculnya kotak kosong bisa menjadi indikasi kuatnya dukungan masyarakat terhadap calon tunggal yang mereka anggap berprestasi.
“Tidak mungkin seseorang tiba-tiba muncul sebagai calon tunggal tanpa proses yang panjang,” ujarnya.
Namun, Teguh juga mengingatkan risiko terbatasnya pilihan bagi masyarakat, yang membuat mereka tidak bisa membandingkan visi dan misi calon .
“Ini mengandung resiko, karena masyarakat tak dapat membandingkan visi dan misi calon” ulasnya.