Deni mengkritik bahwa pola ini merupakan hasil dari aturan main yang mempersempit kompetisi.
“Ini, hasil dari aturan main yang mempersempit kompetisi para kontestan” kata deni melalui sambungan telepon. Sabtu, (31/08/2024).
Deni, sebut syarat dukungan calon independen yang semakin ketat dan syarat koalisi pencalonan yang kian ketat pula.
“Sekarang serba ketat, pencalonan independen maupun koalisi sama saja” ungkapnya.
Akibatnya, negosiasi politik menjadi lebih pragmatis, hanya berfokus pada perolehan kekuasaan tanpa memperhatikan integritas.
Dia juga menggarisbawahi bahwa tingginya biaya politik, bertambah dengan kecenderungan petahana untuk memobilisasi dukungan dengan menyalahgunakan kekuasaan, berkontribusi pada meningkatnya jumlah paslon tunggal.
“80% dari 53 paslon tunggal sejak 2015 hingga 2020 adalah petahana, atau calon yang dukungan petahana,” jelas Deni.
Kecenderungan Politik yang Tidak Sehat
Kotak kosong bukan sekadar istilah untuk Pilkada dengan satu pasangan calon, tetapi juga mencerminkan kecenderungan politik yang tidak sehat.
Jumlah Pilkada dengan kotak kosong terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan pola yang mengarah pada rekayasa politik melalui koalisi besar.
Ini mencerminkan orientasi politik yang semata-mata berfokus pada kemenangan dan kekuasaan, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi.
Deni menegaskan bahwa warga bukanlah sekadar obyek dalam demokrasi, tetapi subyek yang memiliki hak untuk menentukan pemimpin yang akan mengelola sumber daya dan memenuhi hak-hak mereka.
Dalam konteks ini, kemenangan kotak kosong menjadi sinyal bagi partai politik untuk mereformasi cara mereka berdemokrasi.
“Kotak kosong sangat mungkin menang, tetapi kita harus menunggu partai politik merombak cara mereka berdemokrasi,” ujarnya.