Imbalan 30 Persen dan Vendor Tunggal
Lebih lanjut, Kejagung juga mengungkap adanya pembicaraan co-investment 30 persen dari pihak Google kepada Kemendikbudristek jika proyek menggunakan sistem Chrome OS.
Informasi ini disebut disampaikan oleh Jurist Tan dalam rapat yang melibatkan Sekjen hingga Direktur pendidikan dasar dan menengah.
Keanehan lain muncul saat vendor ditentukan secara sepihak. Pada 30 Juni 2020 malam, Direktur SD Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih mengganti PPK karena dia anggap tidak mendukung perintah pengadaan berbasis Chrome OS.
Tak lama, PT Bhinneka Mentari Dimensi ditunjuk sebagai penyedia tanpa melalui prosedur lelang terbuka.
“Pada hari yang sama, pukul 22.00 WIB, Wahyu Hariadi ditunjuk dan langsung mengeksekusi penunjukan vendor di Hotel Arosa,” beber Qohar.
Gagalnya Mekanisme Pengawasan
Yang perlu digarisbawahi bukan sekadar peran individu, melainkan absennya mekanisme kontrol di level kebijakan dan pelaksanaan.
Dari rapat informal hingga tekanan terhadap pelaksana di lapangan, sistem internal kementerian tampak rapuh menghadapi intervensi politik dan bisnis.
Pemerintah telah menempatkan digitalisasi sebagai prioritas, tapi tanpa fondasi pengawasan yang kuat, program sebesar apa pun bisa berubah menjadi ladang penyimpangan.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Empat orang ditetapkan sebagai tersangka: Jurist Tan (stafsus), Ibrahim Arief (konsultan), Mulyatsyah (eks Direktur SMP), dan Sri Wahyuningsih (eks Direktur SD).
Namun kasus ini lebih besar dari sekadar empat nama.
Ia menyiratkan kegagalan sistemik dalam merancang kebijakan berbasis data dan kebutuhan nyata.
“Ini bukan sekadar korupsi, ini soal bagaimana birokrasi bisa dibajak oleh kepentingan luar sistem,” ujar seorang sumber internal Kemendikbudristek yang enggan disebutkan namanya.