DiksiNasi, Ciamis, Jawa Barat – Fenomena kotak kosong dalam Pilkada kembali mencuri perhatian, terutama menjelang Pilkada 2024.
Mencuat fakta unik, ketika pada pelaksanaannya terdapat 48 daerah dengan pasangan calon tunggal.
Istilah kotak kosong ini merujuk pada ketiadaan lawan bagi pasangan calon (paslon), yang membuat surat suara hanya menampilkan satu paslon dan satu kolom kosong tanpa gambar.
Boleh Kampanye Pilih Kotak Kosong
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik, menjelaskan bahwa kampanye kotak kosong tidak mendapat fasilitas dari KPU.
Meskipun begitu, masyarakat tetap mendapat izin untuk mengkampanyekan pilihan tersebut selama tidak menghasut untuk golput.
“Undang-undang Pilkada tidak mengatur kewajiban KPU untuk memfasilitasi kampanye kotak kosong,” ujar Idham, Jumat (30/8/2024) di Jakarta.
Menurut UU Nomor 10 Tahun 2016, paslon tunggal dapat menjadi pemenang jika memperoleh lebih dari 50 persen suara sah.
Namun, jika kotak kosong meraih suara lebih banyak, Pilkada di daerah tersebut akan terjadi pemilihan ulang pada tahun berikutnya.
“Jika perolehan suara paslon kurang dari 50 persen, maka akan diadakan pemilihan ulang,” tambah Idham.
Fenomena Sosial dan Politik
Kemenangan kotak kosong bukan sekadar fenomena lokal. Pada Pilkada Makassar 2018, kotak kosong mengalahkan paslon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi dengan selisih 36.550 suara.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai menggunakan kotak kosong sebagai alat protes terhadap dominasi oligarki politik yang sering mengabaikan aspirasi publik.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menganggap kemenangan kotak kosong sebagai tamparan bagi elite politik dan partai.
“Ini jadi pembelajaran dan evaluasi bagi parpol agar tidak menyepelekan aspirasi dan kehendak politik rakyat,” ujarnya.
Titi juga mencatat peningkatan jumlah daerah dengan calon tunggal dari 3 pada 2015 menjadi 48 pada 2024, mencerminkan kegagalan partai politik dalam menawarkan alternatif calon yang kompeten dan diminati publik.
Implikasi Bagi Demokrasi
Fenomena kotak kosong membawa implikasi serius bagi demokrasi di Indonesia.
Selain mengungkap ketidakpuasan publik terhadap calon usungan partai, hal ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem pemilihan kepala daerah yang memungkinkan dominasi tanpa kompetisi.