“Tindakan ini bukan sekadar teror biasa, tetapi sebuah ancaman nyata terhadap independensi pers. Ini adalah bentuk kekerasan dan premanisme yang tidak bisa ditoleransi,” kata Ninik dalam konferensi pers di kantor Dewan Pers. Jumat, (21/03/2025).
Dampak pada Kebebasan Pers
Kasus ini menunjukkan bahwa masih ada upaya untuk membungkam jurnalis di Indonesia.
Teror semacam ini dapat menciptakan efek gentar yang membuat jurnalis lebih berhati-hati dalam meliput isu-isu sensitif, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan dan kepentingan politik tertentu.
Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, menegaskan bahwa negara wajib melindungi kebebasan pers sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Jurnalis memiliki tugas mengungkap fakta dan mengawal jalannya pemerintahan. Segala bentuk intimidasi terhadap mereka harus mendapat tindakan tegas tegas sesuai hukum,” katanya.
Tuntutan Penegakan Hukum
Komunitas jurnalis dan pegiat kebebasan pers mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut pelaku di balik aksi teror ini.
Tanpa langkah hukum yang jelas, kasus ini bisa menjadi preseden buruk yang membahayakan kebebasan pers di masa depan.
Dewan Pers bersama organisasi media berkomitmen untuk mengawal kasus ini agar tidak berakhir tanpa kejelasan.
Jika tak mendapatkan perhatian, insiden serupa bisa terjadi lagi dan mengancam prinsip dasar demokrasi di Indonesia.
“Kami menuntut aparat segera bertindak dan memastikan bahwa tidak ada lagi ancaman serupa di masa depan,” ujar Ninik Rahayu.
Teror kepala babi ini bukan hanya peringatan bagi Tempo, tetapi bagi seluruh ekosistem pers nasional.
Kebebasan pers harus terjaga, bukan hanya oleh media, tetapi juga oleh negara dan masyarakat sebagai pilar utama demokrasi.