Isu Amplop, Intervensi Travel, dan DWP: Indikasi Kuat Etika Longgar
Isu yang lebih sensitif muncul: dugaan penerimaan amplop dan intervensi pemilihan biro travel oleh pihak KCD.
Sapma mengaku telah mengantongi bukti percakapan yang mengindikasikan pengondisian biro perjalanan tertentu untuk study tour sekolah-sekolah.
“Saya tidak pernah mengarahkan. Kalau ada bukti, buka saja,” ujar Widhy defensif.
Kalimat ini tak menyanggah, hanya mempersilakan publik untuk mencari sendiri fakta yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai pimpinan lembaga.
Tidak berhenti di situ, keberangkatan Dharma Wanita Persatuan (DWP) istri kepala sekolah ke luar kota juga disoal.
Widhy menyebut itu “kegiatan organisasi,” bukan pelesiran.
Namun pertanyaan publik tak bisa ditepis: apakah itu relevan dan patut dalam situasi anggaran pendidikan yang ketat?
Jawaban Normatif, Ketegasan Hilang
Sapma menyimpulkan bahwa KCD XIII saat ini gagal menjawab kebutuhan masyarakat pendidikan.
“Jawaban Ibu Kepala KCD hanya retoris. Tidak ada solusi, tidak ada tanggung jawab yang nyata,” tegas Rizal.
Dalam waktu dekat, Sapma berencana membawa bukti yang lebih kuat: testimoni guru, dokumen BOS, hingga indikasi intervensi biro travel dan honorarium siluman.
Semua itu akan menjadi senjata untuk mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kepemimpinan KCD XIII.
Pendidikan Butuh Kepemimpinan, Bukan Sekadar Jabatan
KCD Wilayah XIII seharusnya menjadi motor penggerak sistem pendidikan menengah di Ciamis, Banjar, dan Pangandaran.
Namun yang tampak justru sebaliknya: kemandulan struktural, penghindaran tanggung jawab, dan pembiaran atas praktik yang menggerogoti dunia pendidikan.
Jika seorang kepala KCD hanya menjawab semua persoalan dengan “itu bukan kewenangan saya,” maka layakkah ia tetap duduk di jabatan itu?