KUHP Baru Diberlakukan 2026: Jurnalis di Persimpangan Antara Etika dan Jerat Pidana

Pasal-pasal tertentu dalam KUHP baru secara eksplisit dapat menjerat mereka bila isi pemberitaan dianggap mencemarkan nama atau menimbulkan kegaduhan sosial.

“Satu sisi, revisi ini menjaga masyarakat dari hoaks. Tapi sisi lain, jurnalis bisa terjerat jika tak hati-hati menggali informasi,” kata Hilman.

Hilman menilai perlindungan terhadap kebebasan pers seharusnya tetap menjadi pilar utama demokrasi.

Dalam konteks ini, bukan hanya jurnalis yang harus introspeksi, tapi negara juga wajib memberi ruang kritik yang sehat.


Etika Jurnalistik Jadi Tameng Utama

Meski begitu, Harli menegaskan bahwa hukum tidak serta-merta mengkriminalisasi pers.

Ia menyebut prinsip dasar dalam penerapan pasal-pasal itu tetap mengacu pada kaidah jurnalistik dan praduga tak bersalah.

“Penerapannya tetap harus mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik serta prinsip praduga tak bersalah,” ujarnya.

Karena itu, akurasi, keberimbangan informasi, dan konfirmasi dari berbagai pihak menjadi pelindung utama agar media tidak terjebak dalam jerat hukum.

Jurnalis diharapkan menjaga profesionalisme dan menjauhi praktik copy-paste atau penyebaran informasi dari sumber tak kredibel.


Membangun Jurnalisme Tahan Guncangan

Pemberlakuan KUHP baru seharusnya menjadi momentum refleksi bagi ekosistem pers di Indonesia.

Jika selama ini etika jurnalistik menjadi standar moral, maka mulai 2026, ia juga menjadi batas legal.

Kegagalan menjaga standar ini bukan hanya mencoreng reputasi media, tetapi juga bisa berujung pidana.

Sebagai penjaga demokrasi, ada tuntutan bagi media untuk semakin presisi, bertanggung jawab, dan adaptif.

Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya kecepatan menyajikan berita, melainkan bagaimana menyampaikan kebenaran tanpa tersandung hukum.