DiksiNasi, Jakarta – Pemberlakuan KUHP baru pada Januari 2026 menjadi perhatian serius kalangan jurnalis.
Di balik semangat pembaruan hukum nasional, terdapat kekhawatiran bahwa sejumlah pasal dalam regulasi anyar itu bisa menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia.
Bukan tanpa sebab.
Pasal-pasal seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, hingga penyebaran informasi palsu tentang harga barang dinilai mengandung potensi kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.
Dalam konteks inilah, peran jurnalis diuji: menjaga akurasi sekaligus bertahan dari risiko pidana.
Jurnalis Harus Pahami Konsekuensi Hukum
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Harli Siregar, menyatakan bahwa jurnalis mesti mewaspadai implikasi hukum dari berita yang mereka tulis.
Pasal-pasal tertentu dalam KUHP baru secara eksplisit dapat menjerat mereka bila isi pemberitaan dianggap mencemarkan nama atau menimbulkan kegaduhan sosial.
“Ada beberapa pasal yang berpotensi relevan dan dapat diterapkan pada aktivitas jurnalistik, di antaranya terkait dengan pencemaran nama baik dan fitnah,” ujar Harli pada 23 Juni 2025.
Pasal 310 dan 311 misalnya, memuat sanksi pidana bagi pelaku fitnah dan pencemaran nama baik.
Adapun Pasal 263 dan 264 menyasar penyebaran berita palsu yang berujung keonaran publik, sedangkan Pasal 265 menyasar penyebaran informasi palsu soal harga barang.
Batas Tipis antara Kritik dan Kriminalisasi
Dalam era keterbukaan informasi, ruang gerak jurnalis semakin luas.
Namun bersamaan dengan itu, batas antara kritik tajam dan jeratan hukum pun semakin tipis.
Dalam KUHP baru, berita yang tak terverifikasi atau memuat dugaan tanpa konfirmasi bisa saja menjadi alat kriminalisasi.
Pakar komunikasi dan media sosial, Hilman Nugraha, mengingatkan bahwa meski ada semangat menjaga ketertiban publik, pasal-pasal tersebut menyimpan potensi multitafsir.