DiksiNasi, CIAMIS — Konsep hukum dalam peradaban Nusantara ternyata lebih kompleks daripada sekadar pembagian antara hukum negara dan hukum agama.
Kajian ini, menjadi pembahasan menarik, dalam sebuah diskusi bertajuk Saresehan Dakwah Syiar Islam yang berlangsung di Pondok Pesantren Riyadhus Sholawat Cipaku, Ciamis. Sabtu, (05/07/2025).
Ada tiga sistem hukum lokal—Agama, Darigama, dan Toyagama—sebagai fondasi spiritual dan sosial masyarakat tempo dulu.
Ketiganya bukan sekadar teori usang, melainkan realitas historis yang membentuk tatanan hukum kerajaan Islam Nusantara seperti Kesultanan Cirebon.
“Untuk hukum sosial dan individu diberlakukan hukum agama, apalagi yang menyangkut habluminallah. Sedangkan hukum perdata dan pidana bersumber dari darigama dan toyagama,” ungkap Elang Akis Jahari, SH, MH, Kanjeng Sinuhun Keraton Kanoman Cirebon.
Darigama dan Toyagama: Antara Adat dan Spiritualitas
Ada dua istilah hukum yang jarang terdengar di ranah publik modern, namun justru menjadi tumpuan sistem peradilan masa lalu.
Darigama mengacu pada hukum adat yang tumbuh dari konsensus sosial dan nilai-nilai lokal.
Toyagama, sebaliknya, adalah bentuk hukum transendental—bersumber dari keyakinan dan relasi spiritual manusia dengan Tuhan.
Menurut Elang Akis, dua sistem ini lestari dalam Kitab Adiluloh, manuskrip hukum kuno yang menjadi pedoman di Keraton Kanoman.
Ia menyebut pesantren sebagai satu-satunya lembaga yang masih menyimpan warisan pemikiran hukum tersebut.
“Mengapa kita memilih pesantren untuk menguak isi Kitab Adiluloh? Karena hanya pesantren yang sampai saat ini mengabadikan nilai aturan yang tercatat di Kitab Adiluloh,” tegasnya.
Kitab Adiluloh: Memori Hukum 600 Tahun
Kitab Adiluloh bukan sekadar catatan sejarah.
Bagi kalangan keraton, kitab ini adalah rujukan utama dalam menyelesaikan konflik sosial dan pribadi, jauh sebelum kolonialisme memperkenalkan hukum barat.
Dr. H. Yat Rospia Brata, Ketua Dewan Kebudayaan Kabupaten Ciamis, mengungkap bahwa isi kitab ini menjelaskan hukum dalam konteks adat—seperti pamali atau kutukan sosial.
“Ada aturan yang diberlakukan melalui budaya pamali. Sang pelanggar akan terkena kutukan sosial atau mistis. Pelaku pelanggar tidak bisa dihukum perdata atau pidana,” katanya.
Hal ini, menurut Yat, membuktikan bahwa masyarakat lokal telah mengenal sistem kontrol sosial berbasis budaya jauh sebelum masyarakat mengenal hukum positif.