Kota Tasikmalaya Punya Cerita Patriotisme Abdul Wahid Pendiri Toko Azad, Pahlawan yang Dilupakan

banner 468x60

Meski telah meninggalkan pertempuran, jiwa patriotik yang menghendaki kemerdekaan dalam diri seorang Abdul Wahid masih tetap tertanam dan membara. Ia mengabadikan semangat dan cintanya akan kemerdekaan pada tokonya, dengan menyematkan nama “Azad” yang berarti “merdeka“.

Hari demi hari, ia lewati di Tasikmalaya. Diam-diam Abdul Wahid juga ikut bergaul dengan kalangan muda pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ia bersahabat sangat erat dengan Soedarpo Sastrosatomo yang, adiknya dr. Sapuan Sastrosatomo yang menjabat kepala Rumah Sakit Tasikmalaya. Soedarpo adalah aktivis muda yang tengah sibuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

banner 336x280

Sahabat Abdul Wahid itu berjejaring dengan tokoh-tokoh muda pergerakan Indonesia, seperti Syahrir, Soebadio, Soedjatmiko, dan S. Parman. Setelah merdeka, Soedarpo menjadi Duta Besar Indonesia pertama untuk Amerika Serikat. Dalam catatan Biografi Soedarpo, sosok Abdul Wahid Azad dipandang sebagai orang paling berjasa yang ikut membantu perjuangan dan membangun bisnis keluarga Soedarpo.

Soedarpo sahabat Abdul Wahid dikenal sebagai seorang pengusaha Indonesia yang dijuluki sebagai Raja Kapal karena perusahaan pelayarannya menjadi perusahaan garda terdepan di Indonesia. Pada tahun 2006, namanya masuk dalam “Daftar 40 orang terkaya di Indonesia (2006)” dari Majalah Forbes.

Dalam autobiografi Soedarpo yang berjudul “Bertumbuh Melawan Arus” ada satu bagian khusus yang menceritakan sosok Abdul Wahid sebagai orang yang berperan dalam memberikan saran dalam peristiwa Rengas Dengklok, melindungi para pejuang yang dicari Jepang ataupun Belanda, dan jasanya memutarkan usaha Soedarpo yang kemudian dananya digunakan Soedarpo untuk berbisnis pascaberhenti dari diplomat.

Pada 2006, Majalah Forbes menempatkan Soedarpo sebagai orang terkaya ke-36 di Indonesia dan putri sulungnya, Shanti L. Poesposoetjipto, yang namanya diberikan langsung oleh Abdul Wahid, menjadi wanita paling berpengaruh di Indonesia tahun 2007, 2008, dan 2009 versi majalah Globe Asia dan meraih Kartini Award pada 2003.

Oktober 1944, ketika Tasikmalaya sedang digoncangkan peristiwa perlawanan KH. Zainal Musthafa di Cimerah Singaparna, Abdul Wahid ikut dijebloskan ke penjara oleh tentara Jepang. Berdasarkan informasi mata-mata Jepang, Abdul Wahid disinyalir terlibat dalam menyokong usaha pemberontakan kaum santri itu. Hanya satu minggu Abdul Wahid mendekam di penjara, karena beliau sangat fasih berbicara dalam bahasa Jepang.

Pada 1945, Abdul Wahid yang bersahabat dengan Soedarpo mengetahui betul rencana angkatan muda yang hendak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Setiap hari, Abdul Wahid memantau perkembangan politik dan pergerakan perang dunia melalui saluran radio.

Terlebih, Abdul Wahid menguasai beberapa bahasa diantaranya Inggris, Belanda, Jepang, Urdu, juga tentunya Bahasa Indonesia dan Sunda. Beliau rajin mendengarkan siaran berita BBC yang berpusat di London dan mendiskusikannya dengan rekan-rekan seperjuangannya guna mencari langkah dan strategi fisik maupun non-fisik.

Pada saat itu, penduduk Kota Tasikmalaya masih jarang yang mengikuti perpolitikan melalui radio, khususnya radio international. Sebagai jajahan Belanda, orang Tasikmalaya lebih menguasai bahasa Belanda ketimbang bahasa Inggris. Berita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus tahun 1945 disiarkan oleh saluran Radio BBC.

Di tengah kota Tasikmalaya, Abdul Wahid adalah orang pertama yang mengetahui informasi mengenai kemerdekaan Indonesia. Dengan semangat dan penuh kegembiraan, pada hari itu Abdul Wahid mengajak orang-orang di tengah kota Tasikmalaya untuk turun ke jalan merayakan kemerdekaan.

Sontak, kota Tasikmalaya riuh dengan kegembiraan. Pada saat memimpin iring-iringan, Abdul Wahid berteriak “Azadih… Azadih… Azadih” yang berarti merdeka. Sejak saat itulah Abdul Wahid dikenal dengan panggilan tuan Azad.

Pasca1945, sepanjang perang revolusi, Abdul Wahid aktif terlibat dalam usaha memertahankan kemerdekaan Indonesia. Bersama adiknya, Abdul Majid, ia melibatkan diri dalam Divisi Siliwangi pimpinan Jendral A.H. Nasution. Kepada divisi Siliwangi, Abdul Wahid menyerahkan bangunan pabrik sereh di daerah Ciawi untuk dijadikan markas tentara.

Toko Azad yang berada di zona aman pasukan NICA seringkali dimanfaatkan untuk persembunyian para gerilyawan. Sebagai mantan British Indian Army, Abdul Wahid sangat disegani oleh orang-orang Belanda, karena beliau adalah tentara pemberani, berpengalaman dan antikolonial.

Akhir tahun 1948, ketika agresi militer Belanda menekan seluruh wilayah Pulau Jawa, Abdul Wahid aktif melakukan propaganda untuk memecah kekuatan tentara asal India yang ikut bergabung dengan pasukan NICA.

Ia memanfaatkan fasilitas Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung yang tengah mengungsi di Gunung Ladu Tasikmalaya. Dengan menggunakan bahasa Urdu, Abdul Wahid mengajak tentara asal India untuk berbelot dan mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Alhasil, tentara India Muslim pun berbalik arah mendukung perjuangan rakyat Indonesia. Mereka berbalik mendukung gerilyawan memerangi tentara NICA. Abdul Wahid dan rekan Pakistan lainnya, menampung banyak tentara India Muslim di rumah dan tokonya.

Setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan mutlak, Abdul Wahid Azad beserta adiknya Abdul Majid, ikut menggagas berdirinya sebuah monumen untuk mengenang perjuangan kemerdekaan Indoensia di Tasikmalaya. Monumen itu bernama Tugu Otonom yang terletak di depan eks halaman Setda Kabupaten Tasikmalaya, yang hari ini menjadi Taman Kota.

Abdul Wahid yang merupakan veteran pejuang perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sempat ditawari dana pensiun. Dia menolak, karena cita-cita perjuangannya lillahi ta’alla demi tujuan merdeka secara fisik dan jiwa.

Pada 1979, Abdul Wahid wafat, meninggalkan istri dan sepuluh anak. Beliau berbaring dengan kemuliaannya di kompleks pemakaman Cieunteung, Tasikmalaya. Anak-anak Abdul Wahid Azad adalah Nissar Ahmad, Ahsen Servia, Syarful Nissa, Mukhsin Nissar, Kemal Nissa, Weqar Nizar, Huseena, Chand Parween, Chand Parwez Servia (CEO Starvision), dan Zareena Servia.

Selain mempunyai toko kain, keluarga Azad pada masa kejayaannya punya empat Bioskop di Tasikmalaya, di antaranya Hegarmanah, Paragyangan, Nusantara dan Tasik Theatre. Akan tetapi sekarang sudab tidak berjalan lagi.

Putra ke delapan dari Abdul Wahid nomor delapan sukses menjadi seorang produser film yang cukup terkenal. Banyak yang tidak mengira bahwa seorang Chand Parwez Servia seorang produser kondang pemilik Starvision itu lahir sebagai anak kampung.

Dikutip dari Wikipedia, Kegiatan Chand Parwez di bisnis film mulai dikenal luas ketika ia berusaha mendirikan Festival Film Bandung yang kemudian dilarang pemerintah orde baru. Agar kegiatan festival film itu bisa tetap berlangsung, ia pun mengubah nama kegiatan menjadi Forum Film Bandung.

Hingga akhirnya, Chand Parwez untuk pertama kalinya mendirikan rumah produksi sendiri yaitu PT. Kharisma Jabar Film melalui film pertamanya yang berkerja sama dengan Pemerintah tingkat 1 Jawa Barat, “Si Kabayan Saba Kota”.

Hingga karya “Si Kabayan Mencari Jodoh” tahun 1994, Chand Parwez mulai memutar otak. Bioskop Indonesia mulai merasakan film indonesia mati suri dan pertelevisian makin berkembang pesat.

Pada tahun 1995, Chand Parwez mendirikan atau mentransformasi rumah produksi Kharisma Jabar Film menjadi Kharisma Starvision Plus bersama Shanker RS dan Raj Indra Singh yang baru saja hengkang dari Tripar Multivision Plus milik Raam Punjabi.

Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua umum Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI), dan Ketua Badan Perfilman Bandung.

Ke sepuluh anak Abdul Wahid Azad itu, mereflikasi kesuksesan ayahnya. Mereka menjadi sosok para miliarder dan memberikan kontribusi untuk Indonesia, khususnya Kota Tasikmalaya dalam bidang perekonomian, sosial, dan keagamaan. Salah satunya menghibahkan tanah seluas 6,3 hektare untuk tempat pemakaman umum di daerah Tamansari, Kota Tasikmalaya. Nama pemakaman tersebut adalah Aisha Rashida.

 

Sumber : Soekapoera Institut Indonesia, Chanel Youtube Priangannews, Jernih.co, Wikipedia

 

banner 336x280