Ciamis memang tak seurban kota atau kabupaten lainnya. Sebagai daerah yang masih terbelakang dan sarat akan budaya dan tradisi, pernikahan anak memang masih menjadi sorotan. Kisah Icha dan suaminya hanya salah satu dari banyaknya kasus pernikahan anak di bumi Tatar Galuh Parahyangan ini.
Icha, bukan nama sebenarnya, harus berjuang sekuat tenaga membesarkan anak bersama sang suami sejak dari usia belia. Kini, tak ada hal lain selain ia dan suaminya bertahan menjalani kehidupan membesarkan buah hati agar dewasa kelak mendapatkan nasib yang lebih baik.
Aspek Hukum
Sementara, apabila berkaca dari aspek hukum, perkara pernikahan anak sebetulnya sudah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa, batas usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun.
Sementara itu, dasar hukum mengenai perlindungan anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, menegaskan seseorang baru dianggap dewasa setelah berumur 18 tahun.
Tak hanya itu, beban ekonomi serta perkara Gender turut melengkapi motivasi terjadinya pernikahan usia dini.
Untuk perihal pernikahan usia dini, namun di Kabupaten Ciamis banyak yang tidak melanjutkan sekolah, rata-rata sekolah hanya sampai tingkat SMP atau SMA.
Di Kabupaten Ciamis juga masih banyak terjadinya pernikahan dini, Kementrian Agama Kabupaten Ciamis pada tahun 2020, menyatakan angka pernikahan dini yang terjadi di Kab. Ciamis yaitu degan jumlah 541 orang, kemudian untuk data pernikahan dini di per-Kecamatan yang terbanyak melaksanakan pernikahan dini di urutan pertama yaitu di Kec. Panjalu dengan jumlah 39 orang, kemudian yang kedua Kec. Banjarsari dengan jumlah 38 orang.
Pola Asuh Orang Tua dan Edukasi terhadap masyarakat
Apa yang dialami oleh Icha, menurut buku karangan Kozier (2018), itu merupakan karena dampak otoriter dari orang tua.
Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang cenderung menetapkan standar mutlak harus dituruti, biasanya di diikuti dengan ancaman-ancaman.
Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak.
Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.
Sedangkan menurut Wong et Eal, pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang mengarahkan perilaku dan sikap anaknya agar tidak menyimpang.
Orangtua menghargai individualitas anak dan memberikan izin anak untuk menyatakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga.
Kontrol yang diberikan orang tua bersifat kuat dan konsistensi tetapi dengan dukungan, pengertian, dan keamanan.
Terakhir menurut Djamrah (2014) pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka.
Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Pola asuh demokratis ini bercirikan adanya kebebasan dan ketertiban, orang tua memberikan arahan atau masukan-masukan yang bersifat tidak mengikat kepada anak. Dalam hal ini orang tua bersifat objektif, perhatian dan memberikan control terhadap perilaku anakanaknya. Sehingga orang tua dapat menyesuaikan dengan kemampuan anak.
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, maupun menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain.
Langkah kongkret Pemerintah
Di lain pihak sangat diperlukan pula peran pemerintah terkecil, yakni pemerintah desa (pemdes). Terlebih, Kab. Ciamis memang strukturalisasinya apabila di daerah pelosok, desa lah yang menjadi pemerintahan yang paling berkuasa.
Hal tersebut memicu pemerintah desa untuk mengatasi atau meminimalisir terjadinya pernikahan anak dengan cara, tahap awal dinasehati yang dilakukan oleh pegawai pencatat pernikahan, memotivasi orang tua untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi bagi anaknya, ditangguhkan buku nikah, memperketat aturan undang-undang perkawinan beserta sanksinya.
Mengingat dampak negatif pernikahan dini, diupayakan bagi individu agar menikah ketika usia sudah mencukupi, dalam hal ini juga diperlukan dukungan orang tua dan masyarakat agar tidak menerapkan pernikahan dini di lingkungannya.
Namun, apabila pernikahan telah terjadi yang harus dilakukan kepada setiap pasangan harus tetap menjaga keharmonisan pernikahannya. Dengan saling menerima kenyataan dan menyesuaikan dengan kehidupan rumah tangganya.