“Ketika demokrasi diganggu, penegakkan hukum yang penting dalam demokrasi itu diganggu. Kedua, ketika esensi demokrasi dasar, seperti syarat capres-cawapres, itu tiba-tiba dihilangkan oleh hakim. Bagaimana bisa, kebijakan publik yang berkaitan dengan proses demokrasi itu ditentukan oleh orang yang tidak dipilih secara demokratis. Ketiga, adalah bagaimana kekuasaan kehakiman ini diperas untuk membenarkan keinginan politik,” ucap Zainal. Bahkan, jika melihat posisi MK sebagai penegak hukum di Pemilu 2024, kondisi ini terbilang sangat mengkhawatirkan.
Dampak Demokrasi
Sukri Tamma, Pakar Hukum dari Universitas Hasanuddin, juga menyatakan keprihatinannya tentang dampak demokrasi setelah putusan ini. Ia berpendapat bahwa demokrasi memerlukan hukum sebagai pembatas dan untuk mencegah dominasi satu pihak atas yang lain. Namun, putusan MK ini dapat memberikan kesan bahwa konstitusi bisa ada di bawah kendali politik.
“Implikasinya akan sangat panjang. Paling tidak kedepannya, yang mungkin terjadi adalah kegamangan demokrasi. Benteng kita sudah sangat rapuh. Proses ini kan nantinya akan membuat penguat demokrasi itu rawan tawaran, kemudian menjadi alat untuk melegalkan kepentingan tertentu. Nah, kalau ini yang ada pada prinsipnya kita sudah tidak berdemokrasi saya kira. Ini akan membuat kita bergembira dengan demokrasi prosedural, substansinya tidak ada,” tutur Sukri.
Demokrasi Rapuh
Putusan ini juga dapat membawa implikasi panjang, di mana demokrasi menjadi rapuh. Sukri menyoroti bagaimana hal ini dapat membawa kita ke arah yang tidak demokratis, hanya mengikuti prosedur demokrasi tanpa substansinya.
Lima Permohonan
Dalam putusan ini, MK juga menolak lima permohonan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu. Hal ini mengakibatkan berbagai pertimbangan hukum yang kompleks, di mana Mahkamah mencari keseimbangan antara hak konstitusional calon dan kepastian hukum.
Dalam konklusi kelima perkara tersebut, Mahkamah menilai pokok permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah kehilangan objek. “Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Niet Ontvankelijke Verklaard (NO),” ujar Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan untuk kelima putusan tersebut.
Tidak Relevan
Tercatat ada pendapat berbeda dari salah satu hakim konstitusi, Suhartoyo, yang menyatakan bahwa pemohon yang meminta pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu seharusnya tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan ini.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo sepanjang berkaitan dengan pengujian norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017,” tegasnya.
Putusan MK ini telah menciptakan perdebatan dan ketidakpastian dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden di masa mendatang serta peran MK dalam menjaga demokrasi di Indonesia.