Part 67: Adian ku Kuda Beureum, Agul ku Payung Butut

Para menak yang bergaya hidup adian ku kuda beureum inilah yang membuat negeri Galuh sulit bergerak maju.

banner 468x60

Mak Icih sedang melayani pembeli, termasuk serdadu Belanda dan kaum Raden yang tengah menikmati kopi pagi.

Mama Rohel ikut duduk di bangku paling ujung, agak jauh dari Tuan Van de Berg, orang Belanda penguasa tanah Galuh.

“Anak-anakku, lihat gaya mereka. Mereka berbahagia dari hasil menghisap darah pribumi. Kekayaan negeri kita mereka kuras tanpa kompensasi. Yang kurang ajar itu justru kaum inlander, orang pribumi peliharaan Belanda. Mereka lebih kejam daripada penjajah. Dalam bahasa Sunda, ini artinya adian ku kuda beureum,” ujar Mama Rohel setengah berbisik.

Para menak yang bergaya hidup adian ku kuda beureum inilah yang membuat negeri Galuh sulit bergerak maju.

Mereka juga menikmati setiap kebijakan Belanda yang memaksa rakyat menanam komoditas tertentu.

“Pabrik minyak kletik Guan Hien adalah warisan penjajah Belanda. Kelapa hasil tanam paksa mereka olah di pabrik Guan Hien, dan kaum pribumi hanya mendapat galendo. Limbah hasil penyulingan minyak kletik itu menjadi makanan khas rakyat Galuh. Sementara minyak kelapa mereka ekspor ke Kerajaan Belanda,” tambah Mama Rohel.

Tak terasa, obrolan pagi Mama Rohel sudah beranjak siang.

Mama Rohel pun bersiap-siap meninggalkan warung Mak Icih.

“Kade, anak-anakku. Mental inlander akan terus ada dan turun-temurun hingga generasi milenial. Ciri-cirinya adalah adian ku kuda beureum dan agul ku payung butut,” pesan Mama Rohel sambil berpamitan pulang.

Tentu saja, Mama Rohel juga agul ku kuda Sembrani yang perkasa, setia menemani perjalanan hidupnya.

banner 336x280