Dalam benaknya, ia membayangkan wajah Soekarno yang kala itu membutuhkan dukungan besar untuk membentuk Indonesia.
“Saat itu, Mama, syarat berdirinya negara Indonesia adalah harus membayar utang VOC kepada pemerintah Belanda. Hal ini tercantum dalam Perjanjian Linggarjati. Inilah asbabun nuzul kemerdekaan Indonesia. Kami, para sultan se-Nusantara, berpatungan mengumpulkan harta berupa emas untuk diserahkan kepada Soekarno guna melunasi utang VOC dan mencegah Belanda melakukan agresi militer,” jelas Sultan Nurus.
Sambil mengisap cerutu, Sultan Nurus melanjutkan kisahnya.
“Saat itu, ada sekitar 200 sultan se-Nusantara, dari Aceh hingga Kesultanan Tidore, yang menyumbangkan emas ratusan ton. Kami sepakat bahwa setelah Indonesia merdeka, para keluarga kesultanan akan diberikan akses ke pemerintahan tanpa dipersulit. Selain itu, kami menitipkan tanah dan kekayaan sultan agar dilindungi melalui Undang-Undang Agraria. Namun, hanya Kesultanan Yogyakarta yang menyerahkan tanah dan bangunannya kepada Indonesia karena mereka sudah tidak memiliki cadangan emas,” lanjutnya.
“Kami mendukung gagasan negara Indonesia semata-mata demi rakyat. Semua harta kerajaan kami sumbangkan. Namun, sungguh sayang, setelah Indonesia merdeka, Soekarno lupa akan janjinya. Transisi pemerintahan baru tidak melibatkan keturunan para sultan. Justru, para mantan pegawai penjajah Belanda yang mendapat wewenang menjalankan birokrasi.”
Mama Rohel terpana mendengar penjelasan Sultan Nurus.
Ia melihat mata sang sultan berkaca-kaca.
“Soekarno belum sempat menepati janjinya karena keburu meninggal. Sementara itu, para pemimpin setelahnya tidak peduli terhadap kelangsungan hidup keraton dan keturunan sultan di negeri ini. Pewaris sah Nusantara justru kini merana, sementara si mata sipit dan londo hitam semakin kaya dengan cara-cara yang licik. Jika para pemimpin negeri ini terus-menerus gagal mengelola warisan kami, maka kebangkitan kekuatan keraton hanya tinggal menunggu waktu,” ujar Sultan Nurus menutup perbincangan di pagi Jumat Kliwon itu.
Masih banyak pertanyaan yang menggelayut di benak Mama Rohel.
Namun, tampaknya ada waktu lain untuk mengupas lebih dalam tentang perampasan tanah kerajaan.
Tabik pun.