DiksiNasi, Cikarohel – Pagi yang cerah, Mama Rohel membuka beberapa berita viral dari negeri sebelah.
Ada seorang bos Pertamina yang diduga melakukan korupsi hingga triliunan rupiah.
Ia mengoplos Pertamax demi keuntungan lebih besar, dan anehnya, semua pihak kompak menyatakan bahwa oplosan itu tidak melanggar aturan.
Di Pendopo Tegal Bentar, beberapa kiai khos berkumpul untuk membahas nasib bangsa ke depan.
Di antara mereka, hadir Kiai Sudrun dan Kiai Khos Japar yang menikmati kopi pagi di Pesantren Tegal Bentar.
“Mama, gawat jika negeri para waliyullah ini terus dibiarkan dikelola oleh tangan-tangan jahat. Bisa-bisa, kelak negeri ini tinggal nama. Para koruptor sudah tak lagi merasa malu mempertontonkan kejahatan mereka,” ujar Kiai Sudrun membuka obrolan pagi.
Mama Rohel tidak langsung menanggapi pernyataan Kiai Sudrun.
Ia menghela napas panjang, lalu menyeruput kopi.
Matanya menatap langit-langit pendopo.
“Kiai, Mama justru takut kelak para koruptor itu yang masuk surga. Mereka yang paling punya kesempatan untuk berbuat baik kepada sesama. Pasti ada hikmah di balik meningkatnya populasi koruptor secara tajam. Pasti ada ekosistem korupsi bawah tanah yang tak terendus,” ujar Mama Rohel.
Mama Rohel melanjutkan, mereka yang kini tertangkap sejatinya hanya menjaga mata rantai kehidupan para koruptor bawah tanah agar tetap hidup.
Mereka hanyalah sampel yang menjadi korban untuk “bayar-bayar” ke semua lini.
“Kita tertipu oleh opini lambe turah para buzzer dan kaum munafik hitam. Kejahatan finansial mereka kemas menjadi sesuatu yang remeh-temeh, padahal nilai kerugian negara mencapai triliunan rupiah,” tambah Mama Rohel.
Utusan Membawa Titipan
Saat asyik berdiskusi, tiba-tiba seorang pria bertubuh tegap datang ke Pendopo Tegal Bentar.
Ia membawa koper berisi uang satu triliun rupiah.
“Selamat pagi, Mama. Saya Benny, utusan Koh Sham Hong dari PT Agung Mugi Waras. Ini titipan sedekah untuk Pesantren Tegal Bentar, nilainya Rp1 triliun,” ujar utusan Koh Hong. Perusahaan ini berafiliasi dengan Harvey Mois dan Naga Sembilan.
Mama Rohel tercekat.
Lidahnya kelu.
Kiai Sudrun menatap koper berisi uang dan terdiam mematung.
Setelah meletakkan koper, sang utusan langsung pamit pulang.
“Tah, Kiai. Baru saja kita membahas ini, sedekahnya langsung datang. Lalu, di mana sedekah dari para penentang koruptor? Di negeri ini, banyak orang baik, tapi mereka tak mampu berbuat baik. Ini yang kelak bisa membuat nasib bertukar—koruptor di surga, sementara orang baik di neraka,” gurau Mama Rohel menutup obrolan pagi.