“Maaf kang terimakasih atas penerimaannya. Tapi saya perlu bertemu pihak penyelenggara proyek untuk melaksanakan aktivitas jurnalistik, yaitu wawancara,” ujar Nurris sang kontributor.
Setelah terjadi beberapa percekcokan dengan segerombolan yang diduga beking-beking dari proyek itu, datanglah aparat penegak hukum (APH) setempat yang ikut mengambil peran. Anggota kepolisian itu, ikut berpihak kepada para penyelenggara, lantaran diduga mendapatkan jatah dari proyek tersebut.
Di lain pihak, pemerintah sebagai penyelenggara juga menyuruh beberapa bekingnya untuk ikut menjegal kegiatan mulia sang kontributor.
Cerita pendek di atas memang bisa dikatakan fiksi. Akan tetapi, relaita yang terjadi di Negeri tercinta kita ini memang tak jauh dari kisah di atas.
Praktik bekingan ini dimainkan dari ibu kota sampai ke daerah-daerah otonom. Jejaringnya sangat kuat, bisa melalui partai, organisasi, aparat, preman, wartawan, bahkan keluarga.
Menko Polhukam Mahfud MD baru-baru ini menyebutkan bahwa keterlibatan oknum aparat menjadi “backing” praktik ilegal merupakan hal yang sudah lama terjadi.
Hampir setiap urusan di republik ini selalu menyisahkan kisah tentang oknum bekingan. Di balik layar, oknum bekingan merupakan sosok superior dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Bahkan bukan soal proyek saja. Di berbagai daerah bahkan terkait prilaku kinerja para pemangku kebijakan pun terlihat semakin semerawut dan seenaknya saja.
Status Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mereka sandang, bukannya memberikan contoh baik, namun sebaliknnya. Di sumpah menjadi pelayan publik malah seenaknya bahkan menyakiti hati masyarakat. Apabila terjadi konflik, beking-bekinganlah yang menjadi solusi.
Kesenjangan yang marak terjadi soal beking-bekingan di tubuh pemerintah, justru malah mengkerdilkan beberapa wadah maupun profesi.
Seperti media masa yang seharusnya bekerja sesuai idealisme, justru terkesan adanya komando dari sosok beking pemerintah.
Ketimpangan yang menganga membuat kerja dengan otot lebih dominan dibanding otak. Karena itu menjadi anggota serta bagian dari kelompok organisasi preman, justru merupakan harapan untuk bisa mempertahankan kehidupan.
Pada sisi yang lain, secara ironi preman berdasi memainkan sisi terang para pengambil kebijakan yang mematok jatah dari anggaran bantuan sosial, mematutkan diri dengan gelar akademik kehormatan, serta seperangkat aturan pelindung diri atas kritik publik. Betapa ironinya hidup di negeri beking-bekingan. (Red)