Diksinasinews.co.id – Perhelatan demokrasi Pemilihan Legislatif (Pileg) akan diselengarakan pada tahun 2024 nanti. Saat ini, berbagai orang dengan latar belakangnya masing-masing berbondong-bondong untuk mendaftar menjadi anggota partai politik.
Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Muhajjir Effendi menyatakan di laman farij wajdi, yang dikutip diksinasinews.co.id, Ia mensinyalir legislatif pada beberapa tahun ke depan, badut politik adalah orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang tugas dan fungsinya bakal mengisi sebagai wakil rakyat.
Menurut Muhajjir bakal calon legislatif (bacaleg) di tingkat pusat, sekarang ini berasal dari berbagai latar belakang yang terdiri dari orang-orang kaya, artis dan tokoh kharismatik lainnya.
Sedangkan untuk di tingkat daerah seperti Kabupaten dan Kota, banyak bacaleg yang terkesan terlalu memaksakan diri. Hal ini membuat mereka tak lain seperti badut politik bagi partai pengusungnya.
Mengutip reaksi dari pengamat politik Jerry Massie di sebuah media elektronik mengatakan, bacaleg bukan hanya badut politik tapi pemain sirkus politik. Karena banyak bacaleg bekualitas hanya lip service dan pintar berkelit serta omong doang (omdo).
“Yang saya bingung kerjaannya tak becus tapi hanya bicara atau no action talk only (Nato) atau talk more do less,” ujar pernyataan Jerry Massie beberapa bulan ke belakang.
Jerry membeberkan analisa kenapa para bacaleg asal-asalan bisa menjadi badut politik. Pertama, karena selain senang bersandiwara, para bacaleg adalah kelompok yang suka memainkan akrobat politik. Kedua, para bacaleg jadi badut politik karena konsep dan pikirannya tak sejalan dengan keinginan rakyat kecil.
“Padahal tanpa disadari, publik sedang tertawa melihat atraksi mereka,” tegasnya.
Dia pun mengatakan, bacaleg yang asal-asalan justru lebih buruk dari badut. Karena kalau badut masih ada tujuan yaitu menghibur masyarakat. Sementara bacaleg antagonis malah justru membuat resah dan bingung kondisi dan situasi masyarakat.
Rekrutmen bacaleg oleh partai politik terlalu instan
Asal-asalannya partai politik dalam hal rekrutmen kader partai menjadi salah satu alasannya. Tak sedikit dari mereka, yang merekrut bacaleg tanpa melalui tahap pendidikan politik secara formal, maupun non formal. Padahal banyak para akademisi yang lebih mempuni, yang bisa lebih faham politik dari menilik kebutuhan masyarakat maupun secara teoritis.
Mirisnya, dari sekumpulan badut itu ada yang berprofesi sebagai pembisnis atau calo yang kesehariannya berkecimpung dengan program pemerintah untuk masyarakat. Contohnya adalah calo proyek, calo pengadaan barang dan jasa, bahkan calo untuk pengadaan program bantuan untuk orang miskin. Mereka memanfaatkan linknya, untuk mengoleksi suara masyarakat, dengan segala eksesnya.
Mereka bakal duduk sebagai wakil rakyat hanya karena terpilih saja, bukan karena keahliannya di bidang tertentu. Walaupun kata Muhajjir, tidak semua wakil rakyat seperti itu.
Tetapi kondisi itu real, bahkan menjadi sebuah tren yang sudah umum. Mereka melakukan dengan percaya diri. Bacaleg tak tahu apa-apa, berarti sama dengan ‘botol kosong’. Cantik dan elegan tampilan atau bungkusan luarnya. Tetapi sayangnya tak punya isi apa-apa, kecuali sekadar berangkat asal-asalan belaka.
Jika statemen itu benar, sungguh hal ini telah mendekati nasihat Rasulullah SAW. “Apabila kalian telah menyia nyiakan amanah, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa yang kau maksud dengan menyia-nyiakan amanah’? Beliau menjawab, Apabila menyerahkan suatu perkara kepada selain pakarnya, nantikanlah tibanya hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Bacaleg dadakan petaka bagi rakyat
Memang banyak bacaleg yang mengajukan penuh percaya diri untuk menjadi seorang wakil rakyat. Cuma, jangankan berkualitas, di antara bakal calon wakil rakyat yang ada masyarakat sedikit yang mengenal. Mereka adalah kandidat pemimpin dadakan. Partai politik melakukan rekrutmen secara instant. Sekadar catatan lantaran faktor kebutuhan peran dari sang partai pencetak badut.