“Lembaga pendidikan jangan anti kritik, terutama di era digital ini. Kritik merupakan asupan penting bagi pemerintah dan insan pendidikan untuk evaluasi,” ujarnya.
Zam Zam menyatakan bahwa antipati terhadap kritik hanya akan mengundang kehancuran, dan kritik yang datang dari rasa cinta dan perhatian seharusnya dianggap sebagai vitamin untuk pertumbuhan.
Sinergi Pendidikan Inklusif dan Penguatan Karakter di Era Digital
Pendidikan inklusif dan penguatan karakter dapat memberikan pendekatan holistik dalam mendidik generasi muda.
Teknologi memainkan peran utama dalam mendukung hal ini, dengan menyediakan metode pembelajaran yang beragam dan akses luas.
Penguatan karakter membantu siswa menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan etis.
Pandangan Para Ahli
Dian Sudaryuni, pemerhati pendidikan, menyebut bahwa esensi pendidikan inklusif adalah kesetaraan, sehingga tidak memerlukan kelas khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
“ABK akan berada dalam ruangan yang sama dengan murid lainnya,” jelasnya.
Namun, pada kondisi tertentu, ruang khusus bisa menjadi solusi jika sekolah memiliki fasilitas lebih.
Wakil Rektor II Institut Agama Islam Darusslam, Dr. Ahmad Nabil Atoillah, S.Th.I, M.Hum., menekankan perlunya regulasi khusus agar ABK tidak termarjinalkan.
“Pemerintah harus membuat regulasi khusus tentang pendidikan inklusif untuk memastikan ABK tidak terpinggirkan,” tegasnya.
Menghadapi Masa Depan dengan Pendidikan Inklusif
Anak adalah aset dan manifestasi masa depan, sehingga pendidikan saat ini harus adaptif.
Zam Zam Al-Ghiffari menekankan pentingnya pendidikan inklusif dan penguatan karakter sebagai fondasi untuk menghadapi era digital.
“Pendidikan inklusif dan penguatan karakter adalah kunci dalam mendidik generasi muda untuk masa depan yang lebih baik,” pungkasnya.
Dengan pendekatan inklusif dan fokus pada penguatan karakter, pendidikan di era digital dapat menciptakan generasi yang mampu berpikir kritis, beretika, dan beradaptasi dengan perubahan zaman.