DiksiNasi, CIAMIS – Cerita sukses bocah 9 tahun, Rafif Tri Abdillah Sutikno, dalam kejuaraan renang Sukapura Swimming Cup (SSC) 2 Jawa Barat seharusnya menjadi kabar gembira bagi Kabupaten Ciamis.
Dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu ia bawa pulang.
Namun, yang tercatat di lembar resmi kejuaraan bukan nama Ciamis, melainkan Kota Tasikmalaya.
Bagi Rafif, mungkin prestasi adalah yang utama.
Tapi bagi daerah, ini adalah soal identitas dan kebanggaan.
Ironisnya, meski rumah dan sekolah Rafif berada di SD Negeri 2 Gunungcupu, Sindangkasih, Ciamis, secara administratif ia menjadi atlet Tasikmalaya sejak Februari 2025, berlatih di Maulana Aquatic Tasikmalaya bersama Coach Maulana Yusuf.
Pengorbanan Orang Tua dan Ironi Administrasi
Ayah Rafif, Agus Sutikno, rela menempuh perjalanan 20 kilometer setiap hari demi mengantar anaknya berlatih.
“Segudang anak pintar sungguh sangat banyak, namun anak-anak yang memiliki prestasi nonakademik masih sangat terbatas,” ungkap Agus. Minggu, (10/08/2025).
Namun, hasil jerih payah itu kini justru tercatat mengharumkan nama daerah lain.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam dunia olahraga, batas administratif jauh lebih cair dibanding batas lintasan kolam renang.
Olahraga: Antara Pembinaan dan Komoditas
Dalam konsep pembangunan olahraga nasional, kejuaraan adalah puncak pembinaan mulai dari minat, bakat, seleksi, hingga pembinaan berkelanjutan.
UU Nomor 3 Tahun 2005 mengatur bahwa kejuaraan harus menjunjung prinsip keolahragaan nasional, bukan sekadar ajang perburuan medali.
Namun kenyataannya, mutasi atlet sering menjadi jalan pintas.
Alasan yang digunakan beragam: pindah sekolah, ikut orang tua, hingga tawaran fasilitas dan dana.
Di atas kertas, semua itu sah.
Tetapi di baliknya, ada praktik “pembajakan atlet” yang telah berlangsung puluhan tahun.
Komentar