Kasus Korupsi Timah Senilai Rp 271 Triliun: Sorotan Terhadap Kerugian Lingkungan dan Implikasinya

Analisis Skandal Korupsi Timah: Kerugian Negara dan Lingkungan Capai Rp 271 Triliun

banner 468x60

DiksiNasi, Jakarta – Kasus dugaan korupsi timah yang mencapai angka fantastis, Rp 271 triliun, telah menjadi sorotan publik belakangan ini. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan kehebohan di ranah politik dan hukum, tetapi juga mengundang perhatian terhadap kerugian lingkungan yang terkait. Dalam rangka menjaga ketertiban hukum dan melindungi kekayaan alam, berbagai pihak, termasuk Lembaga Transparansi Anggaran dan Anti Korupsi Indonesia (Lemtaki), serta Kejaksaan Agung (Kejagung), turut angkat bicara.

Banyak Pihak Terlibat

Menurut Edy Susilo, Ketua Lemtaki, keterlibatan berbagai pihak dalam kasus ini, termasuk pemegang regulasi dan penegak hukum, harus mendapat pengusutan tuntas.

banner 336x280

“Makanya ini bakal seru dan menarik, tapi harus tuntas” kata Edy.

Dia menyatakan bahwa keterlibatan penegak hukum dalam kasus ini menyebabkan diamnya respons terhadap kasus tambang timah ilegal yang merugikan negara.

“Ini bukan lagi korupsi, melainkan perampokan,” ujar Edy. Sabtu, (30/03/2024).

Total Kerugian Menurut Kejagung

Mengutip Majalah Tempo edisi Minggu, 10 Maret 2024, Ketut Sumedana dari Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai angka yang mengejutkan, yakni Rp 271 triliun.

“Kerugian negara dan lingkungan akibat kejahatan itu menurut taksiran hingga Rp 271 triliun,” ujar Ketut.

271 triliun

Perhatian terhadap kerugian lingkungan juga menjadi fokus utama dalam kasus ini. Penghitungan kerugian yang dilakukan oleh ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, mencatat bahwa kerugian lingkungan akibat dugaan korupsi timah di Bangka Belitung mencapai angka yang sama, Rp 271 triliun.

“Totalnya kerugian itu yang tanggungan negara adalah 271.069.687.018.700,” kata Bambang.

Bambang memaparkan bahwa kerugian ini mencakup kerugian dalam kawasan hutan dan non-kawasan hutan, termasuk aspek ekologis dan ekonomisnya.

“Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare,” ujar dia.

Angka Kerugian Masih Berkembang

Meskipun angka kerugian ini mencengangkan, perlu menjadi catatan, bahwa angka tersebut belum final dan masih dalam proses penghitungan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, menegaskan bahwa pengumuman resmi akan dilakukan setelah penghitungan kerugian selesai.

“Terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara kami masih dalam proses penghitungan. Formulasinya masih kami rumuskan dengan baik dan BPKP maupun dengan para ahli,” papar Kuntadi.

banner 336x280