Hukum Spiritualitas: Sanksi Tak Kasat Mata
Mama Rohel, salah satu narasumber dalam saresehan, menyampaikan bahwa dalam konsep Toyagama, pelanggaran hukum tak selalu harus mendapat pembuktian secara empiris.
Sanksi lebih bersifat spiritual dan bertujuan pada penyucian diri.
“Misalnya ada pelaku pelanggaran aturan dihukum untuk puasa 40 hari. Ini tidak bisa digugat, karena diharapkan dengan puasa dia akan lebih dekat dengan Tuhan,” jelasnya.
Sistem ini, katanya, menempatkan Tuhan sebagai hakim utama, dan menjadikan pertobatan sebagai bentuk utama keadilan.
Pesantren sebagai Pelestari Hukum Adil dan Ilahiah
Ajengan Najmuddin, Pengasuh Pondok Pesantren Riyadhus Sholawat Cipaku, menutup acara dengan penegasan bahwa agama tetap menjadi puncak dari segala bentuk hukum.
Menurutnya, meski sistem hukum formal telah berubah, prinsip-prinsip yang hidup di pesantren tetap mengakar.
“Agama bersifat absolut, karena itu aturan agama menjadi sumber hukum tertinggi,” tegas Ajengan Najmuddin.
Saresehan ini menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya pusat pendidikan agama, tetapi juga laboratorium pemikiran hukum Nusantara yang kaya, spiritual, dan kontekstual.