Tak Ada Jawaban Sempurna
Mama Rohel menyeruput lagi kopinya.
Kali ini lebih dalam, seolah pahit kopi lebih mudah dia telan daripada logika wakil rakyat.
“Karena kalau mereka nggak bisa jawab soal rumah mewah, ya dialihkan ke yang juga nggak bisa jawab. Tukang parkir kan jarang punya juru bicara” tukas Mama Rohel.
“Jadi ini kayak anak PAUD rebutan mainan, Ma?” Ujar Dudung dengan polosnya.
“Lebih parah, Le. Anak PAUD juga kalau rebutan mobil-mobilan masih pakai aturan giliran. DPRD kita, begitu dia kena protes, malah nyalahin parkiran. Padahal urusan parkir juga nggak masuk rapat mereka kemarin. Rakyat mah bingung. Katanya pelayanan publik, ujung-ujungnya fasilitas pribadi” jelas Mama Rohel.
Dudung makin penasaran, “Trus gimana, Ma? Kita diam aja?”
Mama Rohel meletakkan cangkir kopi, menatap kabut yang mulai naik ke bukit.
“Kalau rakyat cuma disuruh tepuk tangan pas janji kampanye, tapi disuruh diam pas mereka obral anggaran, itu bukan demokrasi, Le. Itu monopoli kepercayaan. Ingat, suara rakyat juga bukan cuma saat pemilu. Tapi juga saat nurani tersakiti” lirihnya.
Dudung semakin mengejar, “Berarti boleh dong protes?”
“Boleh. Tapi jangan kayak mereka: ngeles terus, lupa fungsi. Kita juga protes pakai data, pakai logika. Bukan pakai dalih dan drama. Karena rakyat itu bukan cuma penonton. Kita ini pemilik panggung” tukas Mama Rohel.
Di kejauhan, suara takbir berkumandang dari masjid kampung.
Mama Rohel berdiri, membenarkan selendangnya, lalu berkata:
“Yuk, salat dulu. Siapa tahu setelah itu, DPRD juga sadar, rumah mereka bukan istana, tapi seharusnya cermin nurani rakyat” ujar Mama Rohel mengkahiri percakapan.