Dengan kata lain, elit politik lomba mengundang simpati. Politisi model ini lebih banyak memoles wajah. Mereka pakai kosmetika dan minyak wangi. Harum semerbak walau sesaat dan membuat sesat. Foto politisi begitu bersih, dan senyum nan indah. Politisi mendadak dermawan. Sumbang sandang dan pangan sana sini.
Hiasan perang spanduk dan foto politisi ada di mana-mana. Padahal itu tak lebih dari sekadar topeng dan wajah palsu belaka, untuk memanipulasi ketidakmampuan mereka mewujudkan substansi berpolitik yang sesungguhnya. Pemimpin sesungguhnya adalah mereka yang mau berkeringat dan mengikuti proses seleksi. Pemimpin yang baik dan mementingkan keberpihakan kepada orang yang mendukungnya, tanpa pamrih atas imbalan materi.
Masa pemilihan wakil rakyat kian hari kian mendekati pelaksanaannya. Pemilihan umum adalah proses seleksi ideal guna mencari wakil di legislatif. Bagi konstituen memilih wakil bukan sekadar coblos, sebab harus mempertanggungjawabkan di akhirat kelak. Ketika memilih dan menggunakan hak pilih itu, maka pastikan mempergunakan hak itu dengan benar. Demikian pula pemimpin tidak lahir begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang dan seleksi ketat.
Seorang pemimpin tidak cukup sekadar mengumbar senyum. Memasang baliho atau poster besar-besa bak badut politik yang akan beratraksi. Mendadak dermawan, seakan begitu dekat dengan orang yang diwakilinya. Rekrutmen pemimpin tidak sama dengan ‘artis dadakan’ yang lahir dari sebuah audisi atau kontes.
Seseorang layak disebut pemimpin manakala ia mau peduli dan telah terbukti berada di garis terdepan guna memperhatikan dan memberi jalan keluar atas kesulitan para konstituen. Jadi, tidak sekadar ‘mejeng’ jelang pemilu semata. Lebih parah lagi, kalau ternyata mereka cuma memiliki modal ‘botol kosong’ dan karena punya atribut kaya, artis dan kharismatis.
Syarat Pemimpin
Pemilihan umum merupakan entry point (pintu masuk) untuk membentuk pemerintahan berwatak baik (good governance). Pemilu sekaligus memperkuat tali mandat rakyat kepada para pemimpin yang menghendaki dan diidamkannya.
Letak penting agenda politik dan hukum pemilu sebagai arena seleksi pemimpin nasional dan lokal adalah guna menciptakan pemerintahan bersih. Seluruh partai politik didesak dan mendorong agar memiliki komitmen yang tinggi untuk melakukan rekrutmen kepemimpinan nasional dan lokal yang kuat dan bersih. Momentum Pemilu 2009 harus diletakkan dalam konteks hak politik rakyat untuk menentukan pemimpin yang bersih dari KKN dan membawa daerahnya menuju fase baru ke arah lebih berkemajuan.
Prosesi pemilu memerlukan elit nasional dan lokal yang berkarakter kuat, bermoral tinggi, tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap, memiliki visi yang luas. Kemudian, mempunyai kemampuan kepemimpinan yang berkualitas, dan benar-benar mencintai rakyat sebagaimana watak negarawan. Bukan para elit pemulung atau aji mumpung, bermental lembek, dan kepemimpinan di bawah standar.
Pemimpin yang secara terus menerus menebarkan kemaslahatan umum dan berbuat yang terbaik demi orang yang diwakilinya. Bukan tipe pemimpin yang semata mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Apalagi kalau cuma melakukan tebar pesona.
Bacaleg asal-asalan rentan korupsi
Pemimpin nasional dan lokal pra pileg 2024 setidaknya harus mampu memenuhi tuntutan reformasi politik dan hukum. Reformasi yang menginginkan perubahan berjalan secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, adil dan tanpa diskriminasi. Lebih dari itu, reformasi hukum juga harus memperhatikan prinsip tersebut, sehingga benar-benar dapat mewujudkan good government.
Masalahnya, ketika kekuasaan mengalami pergeseran dari bandul eksekutif ke legislatif ternyata bersamaan dengan itu pula penyakit KKN mengalami metamorfosis dalam bentuk demokratisasi dan distribusi korupsi.
Penyakit bagi-bagi korupsi antara eksekutif dan legislatif mereka lakukan secara berjamaah. Jika dulu para birokrat di pemerintahan sangat terampil dalam bagi-bagi proyek, kini para anggota legislatif tidak kalah terampil dalam berebut proyek. Akhirnya, mereka lupa amanat rakyat yang memilihnya karena sibuk mengurus proyek-proyek baru.
Kolaborasi dan konspirasi birokrasi dan politisi bakal lebih banyak mengorbankan kepentingan warga. Karena itu warga harus lebih kritis untuk mengawal moral wakilnya di parlemen. Jangan terjebak pada janji manis belaka. Tetapi miskin program yang signifikan dan konkrit. Teropong kembali jejak janji, tatkala mereka pernah memberi harapan yang lebih baik. Warga tidak boleh terlena dengan janji dan mulut manis caleg.
Apakah masih ada para pemimpin mau melayani, peduli dan berpihak? Kalau tidak sekali lagi, maka rakyat cuma memilih pemimpi, dan bukan pemimpin. Tak salah terdapat ungkapan: kalau gegabah dalam memilih, pemilu cenderung bakal berbuah pilu? Apalagi kalau tak hati-hati menilai, jarak pemimpi dan pemimpin cuma setipis kulit bawang.