Pseudo Kemerdekaan: Menggali Esensi di Balik Perayaan Kemerdekaan Indonesia

Pseudo Kemerdekaan: Refleksi di Balik Perayaan 79 Tahun Kemerdekaan Indonesia

banner 468x60

Kemerdekaan seharusnya menjadi awal dari perjalanan panjang bangsa ini menuju keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.

Namun, sayangnya, jalan yang kita pilih saat ini masih jauh dari cita-cita tersebut.

banner 336x280
Masalah Terbesar Budaya Minder

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa ini adalah sindrom “Minderwaardigheidscomplex” atau krisis rasa percaya diri.

Sebagai bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad, kita sering kali merasa minder dan lebih percaya diri jika mengadopsi budaya barat.

Kita lupa bahwa bangsa ini pernah memiliki peradaban yang maju, dengan tokoh-tokoh besar seperti Karaeng Pattingalloang, yang menguasai delapan bahasa dan dikenal di dunia internasional.

Tak lupa, Prof. Dr. Achmad Mochtar, seorang ilmuwan pribumi yang menjadi direktur Eijkman Institute di Belanda pada tahun 1930-an.

Budaya minder ini juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam tata kelola wilayah dan pendidikan.

Kita cenderung mengadopsi standar luar negeri, sementara kita lupa bahwa bangsa ini memiliki kekayaan intelektual yang luar biasa.

Sayangnya, koneksi kita dengan masa lalu semakin pudar, sehingga kita gagal merancang peta besar peradaban bangsa ini ke depan.

Gagal Menafsirkan Arti Kemerdekaan

Salah satu contoh kegagalan negara dalam menafsirkan kemerdekaan adalah dalam hal pangan.

Hingga hari ini, Indonesia belum mampu mencapai swasembada pangan.

Negara menggambarkan bahwa produksi beras kita tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi seluruh rakyat.

Namun, masalahnya bukan hanya pada ketersediaan cadangan beras, melainkan kegagalan negara memahami kemerdekaan pangan secara filosofis dan praksis.

Setiap pulau dan suku di Indonesia memiliki makanan pokok yang berbeda.

Misalnya, suku-suku di bagian timur Indonesia lebih banyak mengonsumsi sagu daripada nasi.

Upaya negara melakukan penyeragaman konsumsi pangan justru menghambat swasembada pangan yang seharusnya menjadi tujuan.

Sorotan pada Sistem Pendidikan

Tak hanya pangan, sistem pendidikan juga menjadi sorotan.

Kurikulum yang diterapkan di Indonesia cenderung seragam, tanpa mempertimbangkan keragaman budaya dan karakter siswa di berbagai daerah.

Padahal, setiap siswa adalah individu yang unik dengan potensi dan bakat yang berbeda.

Namun, negara melalui institusi pendidikan malah menekan keragaman itu dan memaksakan standar yang sama untuk semua.

Ini bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya mendorong setiap individu berkembang sesuai potensinya masing-masing.

Warisan Feodalisme

Selain itu, praktik feodalisme peninggalan kolonial masih tumbuh subur di Indonesia.

Penghormatan berlebihan kepada kelompok masyarakat kaya, pengkultusan, hingga klasifikasi sosial dalam pelayanan publik adalah bukti bahwa kita belum benar-benar merdeka.

Budaya anti-kritik dan pengucapan “Yang Terhormat” pada pertemuan formal adalah warisan kolonial yang masih dipertahankan hingga hari ini.

Semua ini menunjukkan bahwa kemerdekaan yang kita rayakan masih bersifat semu.

Neo-kolonialisme dan neo-imperialisme bukanlah bentuk fisik, melainkan pola pikir yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika kita gagal memahami kemerdekaan sebagai suatu proses panjang yang harus diisi dengan nilai-nilai kebangsaan, maka kita terjebak dalam lingkaran feodalisme dan kolonialisme yang tak berkesudahan.

Penutup

Oleh karena itu, kita perlu melakukan refleksi mendalam tentang apa yang kita rayakan setiap 17 Agustus.

Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momen untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan, bukan sekadar seremonial belaka.

Kita perlu kembali ke akar sejarah bangsa ini, menggali nilai-nilai yang menjadi perjuangan para pendiri bangsa, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mengutip pidato Bung Karno, “Revolusi Belum Selesai!” Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang bangsa ini.

Kita masih memiliki tugas besar untuk memastikan bahwa kemerdekaan ini tidak hanya menjadi pseudo kemerdekaan yang bersifat artifisial, tetapi benar-benar merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dirgahayu Indonesiaku, Merdeka!

#Bung Fahmi, Direktur Eksekutif Suluh Muda, Democracy And Human Right Research Institute
#Mio
banner 336x280