DiksiNasi, Ciamis – Kontroversi pernyataan Dewan Pimpinan Kecamatan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPK APDESI) Cikoneng yang menolak camat perempuan mengundang keprihatinan luas.
Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) Cabang Ciamis menilai ucapan tersebut bukan sekadar penghinaan terhadap perempuan, tetapi juga bentuk kemunduran demokrasi di tingkat lokal.
“Pernyataan ini bukan sekadar pandangan pribadi, tapi simbol mentalitas patriarkal yang menghambat kemajuan demokrasi desa,” tegas Sarah Annisya Nurfauziah, Ketua KOPRI PMII Ciamis melalui pesan pendek. Sabtu, (26/04/2025).
Demokrasi Lokal Terancam
Di tengah upaya memperkuat partisipasi inklusif di pemerintahan desa, sikap diskriminatif yang dipertontonkan APDESI Cikoneng mengirim sinyal negatif bagi pembangunan demokrasi berbasis kesetaraan.
Menurut KOPRI, penghalangan terhadap perempuan untuk menduduki jabatan publik bertentangan dengan prinsip demokrasi partisipatif yang mendorong keterlibatan semua elemen masyarakat tanpa diskriminasi.
“Menutup ruang perempuan dalam kepemimpinan berarti memperkecil ruang demokrasi itu sendiri,” tambah Sarah.
Pengabaian Konstitusi dan Agenda Nasional
Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, yang menegaskan larangan diskriminasi berbasis gender dalam jabatan publik.
Dalam konteks ini, tindakan DPK APDESI Cikoneng tidak hanya melanggar norma sosial, tetapi juga melawan amanat hukum nasional dan semangat reformasi birokrasi yang lebih inklusif.
KOPRI mengingatkan bahwa Kabupaten Ciamis selama ini menjadi contoh positif dalam mendorong kepemimpinan perempuan di sektor publik.
“Ciamis tidak kekurangan sosok perempuan yang berprestasi dalam memimpin desa, mengelola anggaran, serta membangun komunitas,” ujar Sarah.