Namun, Mamat mengakui bahwa beberapa produk tetap mendapatkan sertifikat halal meskipun menggunakan nama yang kontroversial.
“Contohnya, produk dengan nama ‘wine’ dan ‘beer’ yang telah mendapat sertifikasi halal dari Komisi Fatwa MUI. Ada 61 produk ‘wine’ dan 8 produk ‘beer’ yang telah melalui proses sertifikasi,” jelas Mamat.
Perbedaan pendapat antar ulama tentang penamaan produk ini, lanjut Mamat, tidak mempengaruhi aspek kehalalan produk.
“Ini hanya soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama tersebut, bukan soal kehalalan zat dan proses produksinya yang sudah dipastikan halal” tegasnya.
Ajak Semua Pihak Duduk Bersama
Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro, turut mengimbau semua pihak untuk berdiskusi dan menyamakan persepsi terkait penamaan produk.
“Kami berharap masyarakat tetap tenang dan percaya bahwa produk yang telah bersertifikat halal benar-benar memenuhi standar kehalalan” ujar Dzikro.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan keberatan terkait penamaan produk seperti ‘tuyul’, ‘beer’, dan ‘wine’ yang mendapat sertifikat halal dari BPJPH.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menyebut MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk tersebut, karena sertifikasinya tidak melalui proses audit oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
“Produk-produk ini mendapatkan sertifikat melalui jalur self-declare tanpa audit dari LPH dan tanpa penetapan dari Komisi Fatwa MUI,” kata Asrorun.
Kemenag berharap masalah ini bisa segera terselesaikan melalui diskusi yang konstruktif, sehingga tidak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.