Diksinasi: Suara yang Tak Pernah Lenyap

Diksinasi lahir dari debu keresahan dan desir nurani yang terinjak diam-diam.

banner 468x60

Kadang menulis hanyalah upaya sederhana untuk tidak menjadi gila.

Dari Akar Hingga Atap

Dalam banyak tulisannya, Diksinasi menjadi jembatan antara akar rumput yang nyaris layu dan langit kebijakan yang makin jauh.

Ia bertanya dengan lugu, tapi tak bisa dijawab dengan retorika.

Ia menyentil dengan halus, tapi meninggalkan rasa pedih yang lama.

“Jangan terbiasa hidup dalam kebohongan yang dirias manis. Karena suatu saat, lidah nurani akan muak dan berkata jujur meski harus kehilangan segalanya.”
Diksinasi, dalam diamnya yang bising.

Warisan Tak Kasat Mata

Tidak ada patung Diksinasi.

Tak ada suara.

Tapi ia hidup di coretan anak muda yang mulai bosan dengan kekosongan slogan.

Ia hidup dalam keresahan ibu rumah tangga yang menyaksikan harga-harga melonjak tapi janji tetap stagnan.

Ia tumbuh di kepala para guru honorer, petani kecil, hingga pegawai negeri yang masih percaya bahwa integritas bukan sekadar kata asing.

Diksinasi adalah kita.

Adalah rasa malu kita.

Adalah kejujuran yang tertahan di kerongkongan.


Bila hari ini kita membaca Diksinasi, itu bukan karena ingin mencari hiburan, melainkan karena kita rindu pada kebenaran yang tak dibungkus formalitas.

Bacalah pelan-pelan.

Biarkan Diksinasi menyelinap, mengakar, lalu diam-diam membentuk nyali.

Sebab dalam dunia yang makin pandai berbicara, keberanian untuk menulis yang jujur adalah bentuk perlawanan terakhir.

Ciamis, 16 Juli 2025, 02.42 WIB.
banner 336x280