DiksiNasi, Ciamis – Pseudo Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ke 79 masuk dalam usia yang cukup dewasa bagi satu negara.
Sejak fajar menyingsing, ribuan warga desa dan kecamatan berbondong-bondong menuju lapangan.
Animo masyarakat terlihat luar biasa, seolah tak ada yang mau ketinggalan momen penting ini.
Ada yang membawa aksesoris bertema kepahlawanan, bahkan tak jarang miniatur panzer, tank, dan pesawat tempur yang dirakit dari karung semen bekas dan bambu diarak menuju lapangan.
Mereka berkumpul untuk memperingati hari yang begitu sakral bagi bangsa ini, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang pada 17 Agustus 2024 genap berusia 79 tahun.
Makna Esensi di Balik Perayaan
Setiap tahunnya, perayaan kemerdekaan dipenuhi dengan berbagai kegiatan.
Mulai dari upacara bendera hingga aneka perlombaan rakyat di tingkat desa, kecamatan, hingga RT.
Masyarakat menyambutnya dengan penuh euforia. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semua larut dalam kegembiraan bersama.
Namun, di balik gegap gempita itu, sebuah pertanyaan mendalam terbersit: Apa sebenarnya yang kita rayakan?
Apakah hanya seremonial semata, atau ada makna esensial yang tersembunyi di balik peringatan ini?
Kekayaan Alam Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan alam yang tak ternilai.
Garis pantai sepanjang 95.181 km, 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies biota terumbu karang adalah sebagian dari kekayaan maritim kita.
Selain itu, Indonesia juga diberkahi dengan 102,53 juta hektar hutan tropis yang disinari matahari sepanjang tahun, 129 gunung berapi, serta sumber daya alam melimpah seperti gas alam, emas, batu bara, teh, kopi, dan rempah-rempah.
Tak ketinggalan, Indonesia adalah rumah bagi 275,5 juta jiwa yang terdiri dari 1.128 suku bangsa dengan 746 bahasa, tersebar di 17.508 pulau.
Tantangan Besar
Namun, di tengah kekayaan alam yang melimpah dan keberagaman budaya yang kaya, Indonesia menghadapi tantangan besar yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan sosialnya.
Setelah 79 tahun merdeka, negeri ini masih berjuang melawan berbagai penyakit sosial yang akut.
Menurut data terbaru, sekitar 25,90 juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Indonesia juga menempati peringkat ke-34 dari 100 negara terkorup di dunia, dengan 791 kasus korupsi yang tercatat sepanjang tahun 2023.
Angka-angka ini hanya sebagian kecil dari potret buram bangsa ini.
Isu Pendidikan
Selain itu, pendidikan juga menjadi isu yang mengkhawatirkan.
Pada tahun 2022-2023, tercatat 76.834 anak putus sekolah di berbagai jenjang, mulai dari SD hingga SMA/SMK.
Masalah kesehatan pun tak kalah pelik, dengan 21 juta penduduk mengalami gizi buruk dan 21,6% di antaranya adalah anak-anak yang mengalami stunting.
Di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kedua dalam tingkat kelaparan, dan peringkat ke-69 di dunia.
Tingkat intoleransi juga masih tinggi, dengan 171 peristiwa dan 318 tindakan intoleransi berbau SARA yang terjadi pada tahun 2021, dan angka tersebut relatif stagnan hingga 2024.
Pertanyaan Besar
Melihat kondisi ini, pertanyaan besar pun muncul: Apa arti kemerdekaan sebenarnya?
Apa yang kita peringati setiap 17 Agustus?
Dalam konteks sosial, kemerdekaan sering kali diartikan sebagai terjaminnya sandang, pangan, dan papan bagi seluruh rakyat.
Namun, jika kita melihat kondisi saat ini, apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Ataukah kita hanya terjebak dalam euforia seremonial belaka, sementara makna kemerdekaan itu sendiri semakin memudar?
Refleksi Perayaan Kemerdekaan
Peringatan kemerdekaan seharusnya menjadi momen refleksi bagi bangsa ini.
Bukan sekadar upacara dan lomba, tetapi juga sebuah kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat perjuangan para pendiri bangsa.
Kita perlu kembali mengingat nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para founding fathers, yang seharusnya menjadi landasan moral dan komitmen kita dalam menghadapi tantangan zaman.
Sayangnya, banyak dari kita yang lupa bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Seperti yang dikatakan Bung Karno, “Merdeka hanyalah sebuah jembatan. Walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis.”