Diksinasinews.co.id – Reformasi 1998 berimbas pada pemilihan kepala daerah (pilkada) mulai dari tingkat provinsi maupun tingkat kota dan kabupaten. Tragedi runtuhnya rezim Orde Baru (orba) itu, memaksa seluruh lapisan masyarakat untuk memahami kehidupan demokrasi seutuhnya.
Demokrasi seolah mengajak rakyat untuk terjun langsung mengikuti proses kegiatan politik, dari pusat hingga ke daerah.
Di masa Orde Baru sampai gelombang reformasi meratakannya, rakyat tidak pernah menentukan pilihan secara langsung seperti sekarang melalui pemilu. Saat itu, masyarakat tidak memiliki hak kebebasan untuk mengetahui bahkan mengikuti persoalan gubernur atau dan wali kota.
Sekian lama masyarakat hanya menjadi pihak yang bersiap “nampi beres”, terima jadi saja. Mempermasalahkan pemilihan kepala daerah dianggap sama saja dengan mengganggu stabilitas dan kelanjutan pembangunan.
Sebelum rakyat memilih
Sebelum tahun 2005, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah berdasarkan hasil rapat paripurna.
Sejak berlakunya undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, akhirnya rakyat sepenuhnya mempunyai hak untuk memilih. Bahkan selain memilih, rakyat juga bisa mengawal dan mengawasi kinerja kepala daerah agar fungsi pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Pertama kali rakyat memilih
Pemerintah pertama kali menyelenggarakan pilkada pada bulan Juni 2005, pada saat itu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang melaksanakannya.
Sejak berlakunya undang-undang nomor 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum, pilkada masuk dalam rezim pemilu, yang menyelenggarakan pilkada berdasarkan undang-undang ini adalah DKI Jakarta pada tahun 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, terdapat aturan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Pada tahun 2014, DPR-RI sempat mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan bahwa DPR mengembalikan secara tidak langsung, atau DPRD yang melakukan pemilihan.
Ironisnya, 226 anggota DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang langsung mendukung keputusan pemilihan secara tidak langsung ini.
Keputusan ini menyebabkan beberapa pihak kecewa, lantaran banyak orang menilai sebagai langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi, sehingga banyak tokoh senior yang berupaya menggagalkan rencana tersebut dan langsung uji materi ke MK.
Menjelang pilkada 2024
Keberhasilan demokrasi adalah sejauh mana kebijakan dan praktek politik yang ada mampu menyumbang pada terciptanya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Menurut riset Dr. phil. Panji Anugrah Permana dosen Ilmu Politik, di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI pada saat acara Dies Natalis FISIP UI ke-52 februari lalu, menegaskan bahwa sorotan dapat menengarah pada peran kekuatan strategis, yang seringkali membicarakan pilar demokrasi.
Pertanyaan pada hasil riset ini adalah bagaimana kecenderungan dinamika politik lokal terjadi, apakah struktur politik lebih kompetitif atau oligarkis. Ternyata kondisi pasca orde baru itu adalah mengarah ke stuktural continuity, tidak ada yang berubah.
“Pada kalangan oligarki melihat posisi elit itu bertahan, dalam pandangan kalangan oligarki melihat posisi elit ini adalah pemilik modal. Sedangkan pada kalangan liberalis melihat terhadinya fragmentasi elit,” tambah Panji.
Riset yang pertama soal pilkada calon tunggal, kedua soal kompetensi elit dan yang ketiga adalah soal brokerage.
Soal calon tunggal, kecenderungannya terus menanjak dan mengalami peningkatan dari tahun 2015.
Penyebabnya, lanjut dia, ada beberapa point, yaitu terlalu kuatnya petahana atau partai politik berkuasa, buruknya kaderisasi di tubuh partai, sentralisme dan oportunisme partai politik.