Pele, dengan pencapaian komersialnya, dan Maradona, dengan kontroversi politiknya, seringkali terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.
Corbatta, di sisi lain, adalah cerminan harapan dan perjuangan.
Tragedi di Balik Kecemerlangan Omar Oreste Corbatta
Meski begitu, kehidupan pribadi Corbatta jauh dari sempurna.
Lahir dalam kemiskinan di Daireaux pada 11 Maret 1936, ia tumbuh besar tanpa pendidikan formal.
Kematian ayahnya membuat keluarga mereka pindah ke La Plata, tempat Corbatta mulai bekerja sejak kecil.
Kebiasaan buruk seperti alkoholisme dan kegagalan dalam pernikahan menjadi bagian dari hidupnya yang penuh lika-liku.
Namun, tragedi ini hanya menambah dimensi manusiawi pada sosok Corbatta.
Di usia 38 tahun, setelah bermain untuk berbagai klub kecil, Corbatta akhirnya pensiun.
Ia menghabiskan sisa hidupnya di bawah tribun stadion Racing Club, mengenang masa kejayaannya sambil berjuang melawan kemiskinan.
Pada 1991, Corbatta meninggal dunia akibat kanker tenggorokan, meninggalkan warisan yang abadi.
Warisan Tak Tergantikan
Jika Pele adalah “Raja Sepak Bola” dan Maradona adalah “Tangan Tuhan,” maka Corbatta adalah “Jiwa Sepak Bola.”
Keindahan permainannya, yang berpadu dengan sisi tragis hidupnya, menjadikannya lebih dari sekadar legenda olahraga.
Corbatta adalah pengingat bahwa sepak bola adalah tentang seni, keajaiban, dan manusia yang penuh kekurangan tetapi mampu menciptakan keindahan luar biasa di lapangan.
Ia adalah bukti bahwa bahkan seorang pemain dari latar belakang sederhana bisa meninggalkan jejak yang abadi dan tak tertandingi dalam dunia sepak bola.