Kondisi Makam Arya Wiradipa
Dengan napas berat, akhirnya Mama Rohel sampai di makam Arya Wiradipa.
Air matanya tak terbendung.
Ia merasa haru sekaligus sedih melihat makam Eyang Arya yang luput dari perhatian warga sekitar.
Totong hanya termangu, ia juga tak mampu berkata-kata.
Pikirannya larut dalam keharuan.
“Maafkan kami, Eyang. Seumur hidup, baru kali ini kami berziarah ke makam Eyang. Insyaallah kelak anak cucu Eyang akan sering datang ke sini,” gumam Totong. Tiba-tiba, aroma wangi khas Kerajaan Galuh menyeruak di udara.
Mama Rohel tersentak kaget.
Usai berdoa dan mencucurkan air mata, mendadak suara petir menggelegar.
Sebuah bayangan berkelebat.
Sosok berjubah hitam dengan mahkota emas muncul di hadapan mereka.
Sosok itu pun mencoba berkomunikasi dengan Mama Rohel.
“Mama! Kula Arya Wiradipa. Tos ratusan tahun berada dalam kesunyian di Bukit Maparah. Kula sono doa dan suara ngaji anak cucu. Nuhun tos ziarah ka kula. Esok pageto ieu lembur Maparah bakal ilang wangina. Islam dijadikan agama, tapi mereka lupa pada leluhur pembawa agama Islam,” suara Eyang Arya Wiradipa terdengar parau.
Ia melanjutkan sabdanya.
“Esok, Maparah hanya tinggal nama. Warganya berlarian mencari penghidupan, sementara antek-antek penjajah rakus bermata sipit merampas tanah leluhurnya. Sing éling lan waspada! Kula bakal hudang deui melalui sosok anak muda anu bakal melawan kekuatan zalim penjajah aseng,” ujar Eyang Arya Wiradipa menutup sabdanya.
DOOR!
Suara petir kembali menggelegar.
Seketika, sosok Eyang Arya Wiradipa menghilang.
Hening dan sepi.
Hanya suara tonggeret yang mendayu-dayu.
Mama Rohel berkeringat dingin.
Totong tetap diam, tak mampu menatap sosok berjubah hitam yang muncul tadi.
Ia juga hanya bisa menyaksikan Mama Rohel berkomunikasi dengan bayangan misterius itu.