DIKSINASI, OPINI DIKSI – Jangan menulis tentang jalannya pertandingan piala dunia, jika kamu tak suka sepakbola. Jangan menulis tentang potensi wisata, jika kamu tak suka jalan-jalan. Bahkan kamu tak perlu menulis tentang dunia politik, jika kamu lebih suka menonton film horor ketimbang menonton berita.
Apapun pekerjaannya, apabila kita mengerjakan dengan hati maka pekerjaan itu terasa ringan tanpa ada keterpaksaan.
Tak terkecuali juga kamu yang punya hobi atau berprofesi sebagai seorang penulis, pun perlu menggunakan hatinya agar ketika menulis terasa lebih ringan.
Menulislah dengan hati, bukan dengan pikiran. Karena proses menulis akan lebih mudah dan hasilnya akan mudah dipahami oleh yang membaca.
Sebaliknya, menulis dengan pikiran, prosesnya terasa berat dan hasilnya pun umumnya tidak enak dibaca dan sulit dipahami. Menulislah seperti orang yang sedang marah, keluar dan mengalir begitu saja, tanpa outline dan editing yang berbelit-belit.
Saya sendiri, tertarik menjadi penulis bukan karena berbakat atau berminat menjadi penulis, bahkan bukan karena tulus mencintai dunia literasi.
Saya lebih suka menyebut proses ini dengan, “Menulis adalah berbagi rasa lewat abjad, dan menyentuh hati lewat kata.”
Akan tetapi, saya juga perhatikan beberapa orang yang menulis di platform media digital atau di wadah lainnya, memiliki mindset bahwa, “I have to write well so that the public likes it”.
Pada akhirnya dengat keterpaksaan mereka menulis hal-hal bagus yang khalayak inginkan. Bukan berasal dari keinginan pribadi untuk menanggapi sesuatu yang menggelitik diri. Menurut saya kekonyolan tulisan mereka bukan menghasilkan tulisan yang bagus, tapi tulisan yang membagus-baguskan alias penciteraan.
Banyak orang menyamakan begitu saja dunia tulis-menulis dengan bisnis lainnya. Bekerja ya dapat gaji atau bayaran. Ada usaha, ada jasa, ada produk, ada penawaran, ada transaksi, ada hasil/laba/keuntungan. Ada komoditi jual beli.