Alih-alih menjadi instrumen demokrasi yang sentral dalam mencetak kader-kader berkualitas dan kompeten sesuai amanat UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, justru terjadi sebaliknya.
Sebagian besar partai politik justru menjadi seperti kendaraan sewaan yang hanya berguna sebagai prasyarat mengikuti kontestasi lima tahunan.
Proses kaderisasi yang seharusnya mendorong meritokrasi malah cenderung abai dan bahkan mengarah pada perilaku feodal dan transaksional.
Konsekuensi dan Pilihan Publik
Kondisi di atas menciptakan persepsi di kalangan publik bahwa kemenangan calon tunggal dalam pilkada hanya akan membuat kepala daerah terpilih tersandera oleh kartel politik.
Kepala daerah tersebut berpotensi menjadi “jongos” bagi para penguasa partai, tanpa merasa berhutang budi kepada konstituennya.
Jika ini terjadi, tidak mengherankan jika kemudian muncul narasi permisif di masyarakat dalam bentuk dukungan untuk kotak kosong sebagai opsi alternatif.
Pilihan kotak kosong ini menjadi saluran bagi publik yang kritis terhadap kondisi demokrasi hari ini.
KPU, sebagai penyelenggara pemilu, seyogyanya memfasilitasi kampanye kotak kosong sebagai pilihan yang sah dan konstitusional jika hanya ada satu calon yang terdaftar.
Dalam kampanye, selain memfasilitasi pasangan calon tunggal dalam tahapan sosialisasi, KPU juga harus memberi ruang yang sama bagi kampanye kotak kosong.
Jangan sampai ada perlakuan berbeda, karena kedua opsi tersebut adalah pilihan yang sah dan mendapat jaminan dari konstitusi.
Kesimpulan: Masa Depan Demokrasi di Ciamis
Dengan kondisi yang ada, demokrasi di Ciamis dan daerah-daerah lain yang mengalami hal serupa, berada di persimpangan jalan.
Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, kini justru berpotensi menjadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan segelintir elit politik.
Masyarakat berhadapan dengan pilihan yang sangat terbatas, yang berpotensi merusak esensi dari demokrasi itu sendiri.
Penting bagi semua pihak, baik partai politik, penyelenggara pemilu, maupun masyarakat, untuk terus mengawasi dan menjaga agar demokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar.
Demokrasi bukan hanya soal pemilihan, tapi juga soal pilihan—pilihan yang benar-benar mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat.
Jika ini tidak terjaga, maka masa depan demokrasi di Ciamis dan Indonesia secara umum bisa berada dalam bahaya.