Resensi Buku : Robert Michels, Hukum Besi Oligarki

banner 468x60

Keengganannya untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mencabut UU KPK hasil revisi dan dukungannya terhadap UU Cipta Kerja menunjukkan isyarat demikian.

Sikap Jokowi yang demikian itu tentu bertolak belakang dengan citra yang ia bangun selama ini, yaitu pemimpin yang sederhana dan merakyat.

Oligarki di Daerah

Seperti terjadi di daerah, saat menjelang pemilihan legislatif contohnya, partai politik kini tengah mengamankan klannya masing-masing. Parpol lebih banyak memilih bakal calon legislatifnya (bacaleg) sesuai arahan yang terkuat di partainya, tanpa melakukan riset ataupun jajak pendapat dengan masyarakat.

Kenyataan ini jelas terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No 30/2002 KPK menjadi UU No 19/2019 tentang KPK; perubahan UU No 4/2009 tentang Minerba menjadi UU No 3/2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Banyak masyarakat yang malah terjebak dan tergiur untuk masuk ke lingkaran Oligarki politik. Seperti contohnya Aktivis, Tokoh Wartawan, Pengusaha, Tokoh agama, Tokoh Pemuda yang terbujuk rayuan Oligarki politik, penguasa yang bersemayam di tubuh parpol.

Dosen FISIP Universitas Pasundan, Wim Tohari Daniealdi dalam artikel di tempo (02/10/2019) mengatakan setiap pemimpin yang lahir di alam demokrasi secara procedural pastilah berasal dari rakyat.

Hanya, lanjut Wim, setelah berada di puncak kekuasaan, para pemimpin rakyat tersebut tersandera oleh kebutuhan sistem yang disebut dengan oligarki.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Firman Noor dalam artikel yang ia tulis di sindonews.com (31/01/2015) mengatakan ada lima hal yang menyebabkan hukum besi oligarki menguat di Indonesia.

5 penyebab hukum besi oligarki menguat di Indonesia : 

Pertama, partai di Indonesia memang “milik” segelintir orang. Menurut Firman, hal seiring dengan bergantungnya kehidupan partai kepada mereka yang memiliki kekuatan finansial. Akibatnya, para “pemegang saham”, yaitu para elite mempunyai peluang lebih besar dalam berkiprah.

Kedua, lemahnya kaderasi partai yang berimplikasi kepada ketidakjelasan jenjang karier di partai dan berkembangnya pendekatan pragmatism.

Ketiga, adanya porsi lebih kepada jajaran elite dalam menentukan hidup mati partai. Firman menyebut dalam labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak nyaris tanpa kontrol.

Keempat, aturan main yang belum seutuhnya menopang demokratisasi partai. Dalam hal ini, Firman memberi contoh pengaturan keuangan partai oleh UU Partai Politik.

Menurut Firman, hal ini memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar untuk mengukuhkan perannya dalam partai. Ia memiliki kesempatan untuk menyumbang sejumlah uang tanpa bata.

Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis. Menurut Firman kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh partai-partai dalam mendulang suara di pemilu.

Saat ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk memperbaiki diri.[MN]

banner 336x280

Komentar